Mohon tunggu...
Irvan Kurniawan
Irvan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk perubahan

Pemabuk Kata

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Dinamika Investasi dan Stabilitas Psikologi

20 Juni 2020   11:39 Diperbarui: 20 Juni 2020   11:32 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak 1 tahun lalu, saya mencoba menggeluti investasi pasif income dengan menanamkan modal di pasar saham (Bursa Efek Indonesia) dan pasar mata uang. Sebagai pemula, saya pun belajar dari berbagai sumber baik tulisan, video maupun mengikuti berbagai seminar seputar forex. 

Awalnya portofolio saya mulai berkembang. Adapun gejolak pasar kadang naik turun, namun pergerakan tersebut masih normal dan tidak banyak berpengaruh riskan terhadap kualitas investasi. 

Namun sejak memasuki Februari-Maret 2020, gejolak pasar semakin tak menentu akibat isu Covid-19. Indeks Saham Gabungan mulai digoncang ketakutan. Saham-saham K-100 pun mulai turun dan sering terlihat merah. Demikian pun dengan pasar mata uang, pergerakannya sangat dinamis bahkan meleset jauh dari analisis fundamental dan teknikal. 

Ketegangan sekaligus ketakutan yang paling akut sebenarnya terjadi di pasar mata uang, pilihannya posisinya ada dua yakni bisa naik atau turun. Sementara di pasar saham, investor hanya bisa membuka pada posisi naik. Artinya meskipun harga sahamnya down, kita masih membelinya lagi untuk menyelematkan margin.

Meski demikian, ancaman krisis ekonomi sudah nyata di depan mata. Modal usaha sudah banyak tergerus. Bagi investor yang banyak modal, krisis adalah berkat. Mereka bahkan menanti krisis datang agar bisa membeli lagi saham atau mata uang di harga terendah. 

Namun  bagi saya, krisis adalah bayang-bayang kematian investasi. Dana cadangan memang sudah disiapkan, namun toh tidak mampu meredam ketakutan akibat ketidapastian jawaban, kapan pandemi ini berakhir?

Bagi saya, mencoba optimis di masa pandemi adalah hal yang mustahil apalagi didukung oleh maraknya pemberitaan negatif seputar Covid-19 di mass media. Pelan-pelan saham saya pun mulai dijual dengan harga rugi. 

Di pasar mata uang, saya harus melakukan cut loss dengan kerugian yang cukup besar. Singkat kata, saya dilanda panic selling, hingga akhirnya memutuskan untuk istirahat sejenak dari investasi.

Belakangan, ketika kebijakan new normal diterapkan, IHSG belangsur hijau. Sementara dua bulan lalu, saya sudah terlanjut menjual sebagian saham pada posisi rugi. 

Dari pengalaman ini saya harus mengevaluasi ulang portofolio saya. Bagi saya, bukan modal finansial saja yang perlu dibenahi tetapi juga modal emosional (psikologi investasi). 

Stabilitas Psikologi

Merugi akibat pandemi memang tidak hanya dirasakan oleh saya, tetapi juga jutaan investor lain di Indonesia dan dunia . Kalau mau jujur, gejolak ini sebenarnya menggambarkan secara nyata tentang lemahnya ketahanan psikologi, sekaligus menegaskan pentingnya menjaga stabilitias psikologi di masa sulit. 

Faktor psikologi tidak boleh dianggap remeh. Sebab ia tidak bisa diukur secara kuntitatif layaknya dalam analisis funfamental dan teknikal.

Karena itulah, ahli psikologi dan trader profesional, Dr. Alexander Elder dalam bukunya yang berjudul "Trading for a Living, Come into my Trading Room", mengungkapkan,  3 hal yang harus diperhatikan dalam berinvestasi, yakni :

  • Method (metode): berkaitan erat dengan sistem trading dan strategi yang digunakan, hingga kemampuan manusia dalam menganalisa.
  • Money (uang): berkaitan dengan manajemen keuangan dan risiko. Bagaimana kamu mengelola modal dengan menerapkan manajemen modal yang baik dan benar.
  • Mind (pikiran): berkaitan erat dengan faktor psikologi. Khususnya, dalam mengendalikan emosi saat melakukan investasi.

Selama ini, banyak investor termasuk saya berpikir tentang metode dan modal (uang), namun lupa tentang hal yang paling mendasar yakni emosi dalam kajian psikologi investasi. 

Ilustrasi sederhanannya dapat dirasakan ketika Anda mendapati tragedi dalam hidup, entah itu dalam hal percintaan maupun kehilangan orang-orang yang kita sayang. Dalam kondisi seperti ini, kuasa emosi kesedihan merajai pikiran. Kita tidak mampu berpikir kritis dan jernih. 

Dari sini seharusnya disadari bahwa kecerdasan emosional adalah fundasi dasar sebelum mengasa unsur kognitif dalam investasi.

Pengalaman investasi selama pandemi ini juga mengajarkan saya tentang dua emosi utama yang menjadi faktor utama dalam tindakan investor yakni rasa takut dan serakah. 

Dua emosi tersebut biasanya dikenal dengan sebutan fear and greed, yang membuat para investor tidak bisa berpikir jernih, sehingga lamban dan mungkin tidak bisa mengambil keputusan  dan akhirnya gagal.

Demikian pun dalam emosi serakah, investor tidak mau menerima kerugian kecil, yang pada akhirnya justru membiarkan kerugian semakin membesar. Contoh ini saya rasakan waktu awal Januari 2020 lalu. 

Kala itu, bayang-bayang panic selling memang sempat muncul, namun rasa optimis masih besar apalagi disusul dengan narasi beberapa oknum pemerintah (yang pada akhirnya salah) bahwa Covid-19 adalah flu biasa sehingga cepat diatasi. "Nafsu" untuk terus melipatgandakan modal pun masih tinggi tanpa menelisik fakta-fakta yang terjadi.

Dengan demikian, saya pun sependapat dengan Dr. Van K. Tharp (dikutip dari laman finansialku.com). Ia  mengatakan bahwa investasi yang sukses memerlukan penguasaan psikologi sebesar 60%, money management sebesar 30%, dan sistem trading (metode) sebesar 10%. 

Kesadaran ini mesti menjadi perhatian serius bagi setiap investor termasuk saya. 

Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengevaluasi kondisi psikologi saat saat berinvestasi. Di sini, kita harus mampu mengintrospeksi diri dan mengenali kecendrungan emosi yang muncul saat berinvestasi. Dengan kata lain, kita berinvestasi sembari mendeteksi perasaan dominan yang muncul, apakah masih didominasi takut berlebihan atau serakah? 

Selain itu, para investor juga harus lebih banyak menyiapkan waktu untuk melatih kecerdasan emosional dengan banyak membaca dan mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan mengasa sisi emosional. 

Dalam konteks saat ini, mengevaluasi diri jauh lebih bermanfaat ketimbang mengutuk apalagi mencaci maki pandemi Covid-19. Hemat saya, dunia investasi (baik aktif maupun pasif) hari-hari ini, ibarat berada dalam kegelapan malam. 

Gelap tak selamanya jadi petaka karena justru dalam kegelapan kita dapat melihat bintang.  Kecendrungan emosi dalam diri kita sering kali seperti bintang yang tak bisa dilihat itu, kecuali di gelapnya malam. 

Dalam terang kehidupan normal, manusia mungkin sulit mengenali kecendrungan negatif dalam dirinya, namun dalam kegelapan (baca:pandemi), kita jadi tahu siapa diri kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun