Intinya pada waktu itu, tidak boleh mengeritik salah satu dari dua kandidat yang bertarung. Jika kamu mengeritik, maka buzer-buzer medsos siap mencaci maki Anda tanpa ampun.
Rakyat Indonesia kala itu terpecah-pecah ke dalam kubu masing-masing. Isu SARA, fitnah dan ujaran kebencian nyaris membakar rumah Indonesia.
Pada pemilu kali lalu itu jarang dibahas isu-isu krusial yang sedang dan akan menyengsarakan rakyat. Rakyat sengaja digiring ke ruang emosional oleh buzer-buzer politik untuk semakin mengeraskan dukungan politik.
Alhasil, cebong dan kampret pun disematkan kepada rakyat pemilih. Namun sesungguhnya, rakyatlah yang menjadi korban permainan politik. Mereka di-cebong-kan dan di-kampret-kan demi mendulang suara.Â
Kembali ke revisi UU KPK, setelah rakyat berhasil di-cebong-kan dan di-kampret-kan dengan sentimen yang sangat tajam, kini suara rakyat itu terancam diberhanguskan. Entah itu suara cebong atau kampret yang menolak revisi UU KPK.
Jika saja, revisi UU KPK disetujui pemerintah, artinya penyepelehan suara rakyat semakin lengkap. Suara rakyat menjadi tersingkir dari ruang pengambilan kebijakan.
Dengan demikian pengelolaan negara pun semaunya pemerintah saja. Negara menjadi milik pemerintah semata dan bukan milik rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sungguh sebuah pemandangan demokrasi yang menjijikan.
Kita terus berharap, semoga saja Presiden Jokowi masih mendengarkan suara rakyat. Sekali lagi mengutip kata-kata tersohor beliau, 'Demokrasi adalah Mendengarkan'.
Di sini kata mendengarkan mengandung arti mendengarkan suara rakyat, bukan mendengar suara penggarong uang negara. Bukankah begitu Pak De?***
Catatan: Tulisan ini diperbaharui dari tulisan yang sama di laman VoxNtt.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H