Oleh: Irvan K
Diam-diam DPR RI, menyepakati revisi UU KPK UU Nomor 30 Tahun 2002 untuk dibahas.
Penyetujuan revisi UU itu pun licin tanpa hambatan. Tidak lebih dari 20 menit, para anggota dewan yang di ujung masa jabatan 2014-2019 itu, menyepakati usulan revisi.
Poin-poin revisi yang disepakati DPR tak jauh berbeda dengan yang dibahas tahun 2017 lalu diantaranya independensi KPK yang terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, adanya pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, pembatasan sumber penyelidik dan penyidik, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Selain itu, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.Â
Keputusan DPR ini tentu mengecewakan rakyat Indonesia yang selama ini terus berharap akan terciptanya sistem pengelolaan negara yang bersih, bebas dari tikus-tikus kantor.
Namun apa daya, di tengah ancaman penyusupan kepentingan kelompok tertentu dalam seleksi capim KPK, penyetujuan revisi UU lembaga antirasuah itu semakin menggiringnya ke titik terlemah.
Hingga kini, presiden Jokowi belum menunjukan sikap yang tegas, entah sepakat atau menolak.
Berbeda dengan presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono yang tegas menolak usulan revisi UU KPK, presiden Jokowi lebih bersikap ambigu.
Tahun sebelumnya, ketika DPR kembali menyodorkan rancangan revisi, Jokowi lebih memilih keputusan menunda untuk dibahas.
"Saya hargai proses dinamika politik yang ada di DPR, khususnya dalam rancangan revisi UU KPK. Mengenai rencana revisi UU KPK tersebut, kami bersepakat bahwa revisi ini sebaiknya tidak dibahas saat ini, ditunda," ujar Jokowi usai rapat dengan pimpinan DPR tahun 2016 lalu dilansir Kompas.com.
Mungkinkah keputusan penundaan itu mendapatkan momentumnya saat ini?