Mohon tunggu...
Irvan Kurniawan
Irvan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk perubahan

Pemabuk Kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanamkan Kebiasaan Literasi Melalui Pendekatan Budaya

1 Agustus 2016   12:54 Diperbarui: 1 Agustus 2016   13:01 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Walaupun dalam budaya ini masih didominasi budaya lisan (tutur), namun tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan budaya literasi. Di sini dapat dilakukan rekayasa budaya dimana budaya tutur bisa dikolaborasi dengan budaya literasi. Pengembangan budaya literasi melalui budaya lokal sangat mungkin diterima jika pemerintah dan semua komponen terkait dapat menggali kebajikan lokal di setiap daerah untuk menjadi ruang terbentuknya budaya literasi. Budaya baca-tulis tidak bisa dipaksakan jika itu belum menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Karena itu, penerapannya harus dilakukan secara silent and take overmelalui budaya masyarakat adat.

            Melalui pendekatan ini, masyarakat khususnya anak dan remaja bisa mengembangkan budaya literasi di luar waktu sekolah. Pendekatan ini tentunya membutuhkan dampingan dari orang tua, guru, bila perlu bersama  pemerintah desa. Ingat! Salah satu roh dari UU Desa adalah menggali potensi kabajikan lokal setempat. Melalui musyawarah desa, program literasi desa (litdes) bisa dijadikan suatu keputusan bersama menjadi peraturan desa (perdes). Untuk anak-anak, kegiatan baca-tulis juga bisa dikolaborasikan dengan permainan tradisional yang mungkin saja terancam punah akibat permainan modern melalui gadget, play station,komputer, internet, dll.

Selain membentuk kesadaran kritis, pendekatan ini juga bisa menghidupkan budaya gotong royong antar keluarga. Hal ini akan nyata dalam proses pengawasan dan pendampingan terhadap anak. Setiap keluarga yang terhimpun dalam komunitas adat harus memiliki kesamaan konsep bahwa tanggungjawab mendidik anak tidak hanya menjadi beban orang tua kandung, tetapi juga tanggungjawab bersama komunitas adat. Jadi semacam ada gotong royong dalam mendidik anak. Karena itu, setiap keluarga harus melihat anak dan remaja dalam komunitas itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari anak kandungnya. Dengan demikian beban dan tanggungjawab mendidik anak menjadi beban dan tanggungjawab bersama.

Pendekatan budaya literasi berbasis lokal ini dapat dilaksanakan serentak jika ada fasilitas baca, kemudahan akses bahan bacaan, murah, menyenangkan dan ada keberlanjutan. Jika kegiatan ini dijadikan suatu program yang terukur, bisa dirasakan dan berkelanjutan, niscaya budaya literasi berlahan-lahan akan terinternalisasi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Penguatan budaya literasi juga membantu keluarga-keluarga yang mungkin sedang dirundung duka untuk menemukan alternatif baru dalam melawan budaya hedonisme di kalangan anak dan remaja.

             Jika Negara serius mamahami keluarga sebagai ibu peradaban, maka di era bonus demografi ini, pemerintah harus segera mendaratkan ‘revolusi mental’ melalui budaya literasi berbasis kebajikan lokal di tengah keluarga Indonesia. Budaya literasi harus menjadi program prioritas agar anak, remaja dan masyarakat pada umumnya tidak tenggelam dalam pusaran arus globalisasi yang berdampak pada kehilangan generasi unggul (lost generation) untuk membangun masa depan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun