Mohon tunggu...
Irvan Kurniawan
Irvan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk perubahan

Pemabuk Kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanamkan Kebiasaan Literasi Melalui Pendekatan Budaya

1 Agustus 2016   12:54 Diperbarui: 1 Agustus 2016   13:01 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: sekolahguruindonesia.net

Akhir-akhir ini, fenomena kenakalan remaja semakin sering disuguhkan media, bahkan menjadi menu perbincangan hangat di kalangan orang tua dan masyarakat. Tak sedikit pula orang tua yang sedang terjangkit frustrasi akibat ulah anaknya yang terlibat tawuran, kekerasan seksual, rokok, miras, seks bebas, bahkan kecanduan narkoba. Semakin dikontrol, malah makin bolos. Semakin marah malah tambah ganas.

Pada titik, ini orang tua biasanya mulai pasrah. Mimpi untuk menjadikan anaknya cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual hanya mampu diungkapkan dalam doa-doa sebelum tidur. Trend sosial rupanya lebih mudah diterima dari pada nasehat-nasehat orang tua yang terlanjur dianggap klasik di kalangan remaja.

Mendidik anak pada era global memang tergolong pelik. Orang tua dituntut agar mampu membesarkan anak-anaknya dalam dunia yang semakin terbuka dengan arus informasi dan kemajuan teknologi. Setiap hari, kita berada pada pusaran arus informasi yang dikemas dalam berbagai sumber seperti media massa, HP, sinetron, film, internet dan media sosial.

Situasi ini menuntut siapa saja untuk bersikap kritis. Kesadaran kritis menjadi strong point agar tidak terhanyut dan tenggelam dalam pusaran budaya global yang disalurkan melalui perangkat komunikasi modern. Namun, mampukah anak-anak mendapat kesadaran kritis di tengah trend sosial yang makin tak terbendung ini?

Budaya Literasi

           Keluarga merupakan rahim peradaban bangsa. Orang tua sebagai agen sosialisasi awal bagi seorang anak, dituntut untuk menanamkan nilai sedini mungkin sebelum budaya trend (budaya global) merasuki mental anak dan remaja. Dengan kata lain, budaya trend yang menawarkan hedonisme harus dilawan dengan budaya literasi yang membentuk kesadaran kritis.

Budaya literasi merupakan kebiasaan berpikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis untuk kemudian akan menghasilkan karya. Kebiasaan ini harus ditumbuhkan sedini mungkin agar seorang anak dan remaja memiliki ketajaman berpikir melalui proses membaca dan menulis. Dia pada akhirnya mampu memanfaatkan ‘kesadarannya’ untuk melawan infiltrasi budaya hedonisme  dan pragmatisme yang berkembang dalam trend sosial.

            Namun fakta membuktikan sebaliknya. Selama ini, kita telah mengalami pelompatan tangga yang cukup signifikan. Keluarga dan Negara sebagai alat kontrol sosial belum mampu membentuk kesadaran kritis di kalangan anak dan remaja. Seharusnya sebelum keran kebebasan informasi dan komunikasi dibuka lebar-lebar, kita sudah matang dalam budaya literasi yang melahirkan kesadaran kritis. Alhasilnya, seorang remaja menerjemahkan secara lurus kekerasan dan perilaku hedonis yang ditampilkan melalui internet, film, sinetron maupun berita, lalu dipraktekkan dalam realitas.

Pelompatan tangga ini juga menjadi situasi bertambah pelik. Keluarga dan Negara sebagai institusi sosial, kehilangan daya untuk meredam kembali pengaruh negatif yang sudah terlanjur membatu di lingkungan dan kepribadian anak. Negara malah membuat kebijakan yang sebenarnya tidak menyentuh akar persoalan. Hasilnya, banyak remaja yang terancam hukuman kebiri akibat kekerasan seksual yang makin menjamur. Namun apakah dengan hukuman kebiri kekerasan seksual dapat dihentikan? Belum tentu. Selama kesadaran kritis belum terbentuk, selama itu pula peluang kejahatan bisa terjadi bahkan dengan motif dan cara baru.

Pendekatan Budaya

           Salah satu cara untuk menanamkan budaya literasi dalam keluarga adalah melalui pendekatan budaya lokal. Salah satu kebiasaan masyarakat adat kita khususnya di kampung-kampung adalah kebiasaan duduk berkumpul. Dalam masyarakat adat Manggarai, Flores, NTT misalnya ada budaya lonto leokdimana melalui budaya ini segala macam persoalan dimusyawarakan secara bersama untuk mencapai mufakat. Kebiasaan lonto leoksampai saat ini masih terjaga walaupun pada daerah perkotaan sudah berangsur pudar.

            Walaupun dalam budaya ini masih didominasi budaya lisan (tutur), namun tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan budaya literasi. Di sini dapat dilakukan rekayasa budaya dimana budaya tutur bisa dikolaborasi dengan budaya literasi. Pengembangan budaya literasi melalui budaya lokal sangat mungkin diterima jika pemerintah dan semua komponen terkait dapat menggali kebajikan lokal di setiap daerah untuk menjadi ruang terbentuknya budaya literasi. Budaya baca-tulis tidak bisa dipaksakan jika itu belum menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Karena itu, penerapannya harus dilakukan secara silent and take overmelalui budaya masyarakat adat.

            Melalui pendekatan ini, masyarakat khususnya anak dan remaja bisa mengembangkan budaya literasi di luar waktu sekolah. Pendekatan ini tentunya membutuhkan dampingan dari orang tua, guru, bila perlu bersama  pemerintah desa. Ingat! Salah satu roh dari UU Desa adalah menggali potensi kabajikan lokal setempat. Melalui musyawarah desa, program literasi desa (litdes) bisa dijadikan suatu keputusan bersama menjadi peraturan desa (perdes). Untuk anak-anak, kegiatan baca-tulis juga bisa dikolaborasikan dengan permainan tradisional yang mungkin saja terancam punah akibat permainan modern melalui gadget, play station,komputer, internet, dll.

Selain membentuk kesadaran kritis, pendekatan ini juga bisa menghidupkan budaya gotong royong antar keluarga. Hal ini akan nyata dalam proses pengawasan dan pendampingan terhadap anak. Setiap keluarga yang terhimpun dalam komunitas adat harus memiliki kesamaan konsep bahwa tanggungjawab mendidik anak tidak hanya menjadi beban orang tua kandung, tetapi juga tanggungjawab bersama komunitas adat. Jadi semacam ada gotong royong dalam mendidik anak. Karena itu, setiap keluarga harus melihat anak dan remaja dalam komunitas itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari anak kandungnya. Dengan demikian beban dan tanggungjawab mendidik anak menjadi beban dan tanggungjawab bersama.

Pendekatan budaya literasi berbasis lokal ini dapat dilaksanakan serentak jika ada fasilitas baca, kemudahan akses bahan bacaan, murah, menyenangkan dan ada keberlanjutan. Jika kegiatan ini dijadikan suatu program yang terukur, bisa dirasakan dan berkelanjutan, niscaya budaya literasi berlahan-lahan akan terinternalisasi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Penguatan budaya literasi juga membantu keluarga-keluarga yang mungkin sedang dirundung duka untuk menemukan alternatif baru dalam melawan budaya hedonisme di kalangan anak dan remaja.

             Jika Negara serius mamahami keluarga sebagai ibu peradaban, maka di era bonus demografi ini, pemerintah harus segera mendaratkan ‘revolusi mental’ melalui budaya literasi berbasis kebajikan lokal di tengah keluarga Indonesia. Budaya literasi harus menjadi program prioritas agar anak, remaja dan masyarakat pada umumnya tidak tenggelam dalam pusaran arus globalisasi yang berdampak pada kehilangan generasi unggul (lost generation) untuk membangun masa depan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun