Penelitian menemukan bahwa stres oksidatif punya peran pada banyak kondisi medis. Beberapa di antaranya adalah diabetes tipe 2, kanker, dan pengerasan arteri atau aterosklerosis.
Stres oksidatif juga dihubungkan dengan beberapa penyakit syaraf degeneratif, misalnya penyakit Alzheimer’s, penyakit Parkinson’s, amyotrophic lateral sclerosis (ALS), dan multiple sclerosis (MS).
Menurut sebuah artikel yang diterbitkan di Nature Reviews Drug Discovery, yang dirilis pada 2004, hubungan antara stres oksidatif dengan berbagai penyakit syaraf itu sudah diobservasi sejak 1980-an.
Lalu, pada sebuah artikel yang diterbitkan pada 2016 melalui jurnal Experimental Neurology, sudah terbukti bahwa stres oksidatif punya peran terhadap MS sejak 1987.
Lalu, faktor risiko yang bagaimana yang menyebabkan stres oksidatif? Yang pertama adalah merokok, yang bisa menghasilkan ROS. Lalu, terlalu banyak sinar ultraviolet dihubungkan dengan kanker kulit dan kanker lainnya, menurut American Cancer Society.
Obesitas juga bisa meningkatkan stres oksidatif, karena radikal bebas bisa mengikat dan merusak lemak. Karena itu, perubahan gaya hidup dan menyantap menu seimbang bisa membantu membatasi stres oksidatif.
Ada bukti lemah, menurut Live Science, bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung antioksidan bisa mengurangi stres oksidatif. Karena itu, menu makan yang kekurangan antioksidan bisa menjadi faktor risiko.
Beberapa makanan yang kaya antioksidan adalah brokoli, wortel, kentang, bayam, dan berbagai jenis beri.
Yah, meski buktinya masih lemah, masih lebih baik menyantap makanan-makanan tersebut, ketimbang tidak sama sekali. Bukan, begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H