Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengenal Stres Oksidatif dan Bahaya yang Ditimbulkannya

7 Maret 2023   14:30 Diperbarui: 7 Maret 2023   22:13 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sel, di mana segala proses kehidupan berlangsung, termasuk terbentuknya radikal bebas. (Sumber: Arek Socha/Pixabay)

Oxidative stress, atau stres oksidatif, terjadi ketika ada ketidakseimbangan antara jumlah radikal bebas di dalam tubuh dan kemampuan tubuh untuk menetralkannya. Itu arti umum dari stres oksidatif, menurut Live Science.

Secara spesifik, artinya adalah ketidakseimbangan antara produksi sel dan eliminasi hasil sampingan (byproduct) dari pemecahan oksigen. Byproduct tersebut, dikenal sebagai reactive oxygen species (ROS), punya peran penting untuk fungsi sel, namun berbahaya jika berada dalam jumlah terlalu banyak.

ROS termasuk dalam kategori bahan kimia reaktif yang disebut radikal bebas. Karena sel butuh ROS, beberapa peneliti menyatakan stres oksidatif adalah hal yang bagus dalam konteks tertentu. Namun, yang lainnya menyatakan stres oksidatif berbahaya, jika dilihat dari definisinya.

Stres oksidatif menyebabkan penuaan dan juga terlibat dalam beberapa penyakit. Bahan kimia yang membatasi proses oksidasi dan terbentuknya ROS adalah antioksidan. Disebutkan bahwa antioksidan bisa membantu membatasi bahasa oksidatif, akan tetapi belum jelas berapa banyak yang dibutuhkan atau bagaimana efeknya.

Lalu, apa yang menyebabkan stres oksidatif? ROS terbentuk secara alami ketika tubuh memecah oksigen (O2) sebagai bagian dari pernapasan seluler, yaitu proses esktraksi energi dari glukosa (gula). Pada organisme, misalnya pada mamalia, proses tersebut terjadi di mitokondria, bagian dari sel yang biasa disebut sebagai powerhouse, pusat semua kegiatan.

Sebagai bagian terakhir dari pernapasan seluler, sel memisahkan elektron, atau partikel negatif, dari byproduct gula. Proses itu memungkinkan sel memproduksi sebuah molekul yang disebut adenosine triphosphate (ATP, adenosin trifosfat), yang merupakan sumber energi utama sel. Sel butuh oksigen untuk menerima elektron pada akhir proses, dan kebanyakan molekul oksigen lantas diubah menjadi air.

Tapi, beberapa molekul oksigen menerima lebih sedikit elektron dan malah diubah menjadi radikal bebas, terutama dalam bentuk ROS. ROS, yang tidak mengandung elektron, membuat mereka sangat reaktif. Mereka akan bereaksi dengan banyak unsur di dalam sel untuk mendapatkan elektron, sehingga menjadi unsur yang stabil. Bentuk umum ROS biasanya adalah peroksida (misalnya hidrogen peroksida), superoksida, dan radikal hidroksil.

Secara normal, sel menggunakan ROS sebagai bagian dari proses sinyal – mengirim pesan ke bagian lain dari sel atau ke sel yang lain. Tapi, ROS dalam jumlah berlebih menyebabkan bahaya oksidatif, yaitu oksidasi dari bagian sel. Seperti halnya proses oksidasi yang bisa menyebabkan besi menjadi berkarat, proses itu bisa mengubah dan membahayakan molekul yang membangun sel, yang termasuk menyebabkan mutasi DNA dan RNA, dan bahaya lain pada protein, gula, dan lemak.

Sel-sel bisa memperbaiki kerusakan, namun jika rusaknya sangat parah, maka bisa memicu yang namanya apoptosis atau kematian sel secara terprogram, mekanisme penghancuran diri.

Dalam kasus yang parah, bisa menyebabkan nekrosis, di mana sel menjadi sangat rusak sehingga mereka secara prematur bisa hancur, menyebabkan kematian jaringan.

Penelitian menemukan bahwa stres oksidatif punya peran pada banyak kondisi medis. Beberapa di antaranya adalah diabetes tipe 2, kanker, dan pengerasan arteri atau aterosklerosis.

Stres oksidatif juga dihubungkan dengan beberapa penyakit syaraf degeneratif, misalnya penyakit Alzheimer’s, penyakit Parkinson’s, amyotrophic lateral sclerosis (ALS), dan multiple sclerosis (MS).

Menurut sebuah artikel yang diterbitkan di Nature Reviews Drug Discovery, yang dirilis pada 2004, hubungan antara stres oksidatif dengan berbagai penyakit syaraf itu sudah diobservasi sejak 1980-an.

Lalu, pada sebuah artikel yang diterbitkan pada 2016 melalui jurnal Experimental Neurology, sudah terbukti bahwa stres oksidatif punya peran terhadap MS sejak 1987.

Lalu, faktor risiko yang bagaimana yang menyebabkan stres oksidatif? Yang pertama adalah merokok, yang bisa menghasilkan ROS. Lalu, terlalu banyak sinar ultraviolet dihubungkan dengan kanker kulit dan kanker lainnya, menurut American Cancer Society.

Obesitas juga bisa meningkatkan stres oksidatif, karena radikal bebas bisa mengikat dan merusak lemak. Karena itu, perubahan gaya hidup dan menyantap menu seimbang bisa membantu membatasi stres oksidatif.

Ada bukti lemah, menurut Live Science, bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung antioksidan bisa mengurangi stres oksidatif. Karena itu, menu makan yang kekurangan antioksidan bisa menjadi faktor risiko.

Beberapa makanan yang kaya antioksidan adalah brokoli, wortel, kentang, bayam, dan berbagai jenis beri.

Yah, meski buktinya masih lemah, masih lebih baik menyantap makanan-makanan tersebut, ketimbang tidak sama sekali. Bukan, begitu?

Brokoli dan wortel, makanan kaya antioksidan penangkal radikal bebas. (Sumber: Reinaldo Kevin/Unsplash)
Brokoli dan wortel, makanan kaya antioksidan penangkal radikal bebas. (Sumber: Reinaldo Kevin/Unsplash)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun