Kompasiana memilihkan chinese food sebagai topik pilihan. Masakan Cina itu punya sejuta rasa, bahkan hanya untuk misalnya mi goreng ayam. Dari restoran yang satu ke restoran yang lain memiliki rasa khas. Kami sekeluarga adalah penggila chinese food.
Rasanya sangat familiar di lidah dan mudah didapat. Dulu, sebelum ada yang namanya GoFood, GrabFood, dan sebagainya, kami punya setumpuk katalog restoran Cina yang ada di sekitar rumah, yang jauh dari rumah pun ada. Tinggal telepon salah satunya dan makanan pesanan akan diantar ke rumah. Ada beberapa yang menjadi langganan ketika itu.
Kemudian, saya ingat pernah menyantap chinese food ketika dinas luar negeri ke Birmingham, di Inggris. Ketika itu, 19 Mei 1999, kelar final edisi terakhir Piala Winner, dengan Lazio sebagai juaranya setelah mengalahkan Real Mallorca, hari sudah sangat malam. Kick-off pertandingan dimulai pukul 19.45 waktu Inggris. Jadi, ketika keluar dari Stadion Villa Park, jam tangan telah menunjukkan nyaris pukul 1 pagi.
Selama menyaksikan pertandingan, saya berkenalan dengan jurnalis Jawa Pos yang ngepos di Italia, (almarhum) Wing Wiryanto. Dia paham sekali kegalauan saya yang baru pertama kali dinas ke luar negeri. Ke Eropa pula.
Saya bahkan tidak terpikir untuk memesan satu kamar hotel di Birmingham. Selama di Inggris, saya tinggal di rumah eks kontributor Tabloid BOLA di London. Mas Wing lantas memberi tahu barangkali saja di hotel tempatnya menginap ada kamar kosong, sebab mungkin saja ada reporter peliput final Piala Winner yang sudah check-out.
Saat itu, Mas Wing ditemani oleh seorang bapak, sebut namanya Pak X, sebab terus terang saya sama sekali tak menangkap nama yang disebutnya. Untuk bertanya lagi, nanti disangka budek. Jadi, ya saya hanya memanggilnya dengan “Pak”.
Pak X dan Mas Wing menginap di hotel yang sama dan mereka sudah punya rencana untuk cari makan kelar laga final. Waduh kebetulan, saya juga kelaparan setengah mati ketika itu. Saya sudah berniat untuk mencari resto fast food, tapi rupanya pada dini hari seperti itu, tak ada lagi yang masih beroperasi.
Pak X mengajak kami ke sebuah resto Cina. Lumayan besar dan hebatnya, di dalam sangat ramai pengunjung. Semua meja sudah penuh, saya sampai sangsi apakah kami bertiga bisa dapat meja.
Ternyata Pak X sudah memesan satu meja yang cukup untuk empat orang. Sungguh, malam itu adalah rezeki untuk saya.
Karena saya dan Mas Wing beragama Islam, maka tidak mungkin untuk menyantap menu asli restoran itu, yang bisa jadi mengandung “sapi pendek”.
Pak X lantas menghilang, sementara kami menunggu di meja yang telah disediakan. Sekitar 10 menit kemudian, Pak X kembali dari misinya, entah dari mana.
“Aman, saya sudah pesan yang 100 persen halal. Saya bicara dengan manajernya tadi,” kata Pak X ketika itu.
Seratus persen halal, jangan-jangan peralatan masak pun yang masih baru, bukan yang telah dipakai sepanjang malam, yang tak jelas telah dipakai untuk mengolah apa saja.
Kemudian saya memakai waktu menunggu itu untuk menelepon kantor di Jakarta, melalui telepon restoran. Masih pakai landline. Waktu itu 1999, belum ada WhatsApp atau sejenisnya. Saya memakai sambungan collect call, sehingga tak membebani restoran. Saya melaporkan segala hal ke rekan yang deadline malam itu. Mereka yang akan merangkai kata-kata saya menjadi sebuah laporan.
Setelah itu, saya kembali ke meja bertepatan dengan datangnya makanan. Lumayan banyak yang dipesan oleh Pak X. Manajernya ikut datang dan berbicara dengan Pak X, dalam bahasa Mandarin. Okay, saya tak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Setelah membungkukkan badan, si manajer berlalu dan kami mulai menyantap semua yang ada di meja. Terus terang, saya sudah lupa apa saja yang saya santap malam itu. Saya hanya ingat satu jenis.
Bentuknya mirip dengan menu yang ada di foto artikel ini. Sejenis cap cai goreng dengan sedikit kuah. Cap cai ayam, bukan seafood seperti di ilustrasi artikel ini. Diletakkan di atas kripik mie goreng yang dibentuk menjadi keranjang bulat. Sangat cantik.
Ketika semua sayuran yang ada di atasnya habis, saya mulai makan keranjang mie itu. Rasanya sangat enak, lembut, renyah, tapi kokoh, karena sama sekali tak hancur terkena kuah cap cai. Saya belum pernah menemukan lagi menu seperti itu. Namanya pun saya tak tahu. Mungkin memang cap cai, tapi mungkin juga jenis lain. Herannya saya tak menanyakan nama menu itu ke Pak X.
Kami mengobrol sejenak setelah makan dan kemudian menuju hotel. Saya ditemani Mas Wing ke resepsionis, barangkali saja ada kamar kosong. Alhamdulillah ternyata memang ada. Kalau tak ada kamar kosong malam itu, saya sudah siap untuk mencari hotel lain. Yang penting, saya bisa menulis artikel, mumpung masih segar di ingatan.
Keesokan pagi, saya bertemu Mas Wing di area sarapan. Saya tanyakan Pak X ke mana, Mas Wing mengatakan ia sudah check-out pagi-pagi buta. Sayang sekali, saya ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi untuk traktirannya.
Berpuluh tahun kemudian, setelah saya melek kuliner, akhirnya saya tahu siapa sebenarnya Pak X itu. Mungkin saja saya salah, namun wajahnya tak akan saya lupa, meski pada saat itu dia masih lebih muda. Jadi, semoga saja saya tak salah. Kalau salah, ya sudahlah.
Semoga saja Pak X tak membaca artikel ini, meski saya yakin dia tidak ingat pernah mentraktir saya di sebuah restoran Cina di Birmingham, memesankan menu khusus 100 persen halal, lewat tengah malam, hampir 24 tahun yang lalu.
Pak X adalah William Wongso.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H