Ada yang kenal Heraclitus? Atau Herakleitos, memakai versi Yunani. Saya juga tidak kenal, karena dia lahir jauh sebelum saya lahir, yaitu pada sekitar 535 Sebelum Masehi. Bahkan dia meninggal pun Sebelum Masehi, yaitu pada 475, ketika usianya 60 tahun.
Filsuf Yunani kuno itu punya satu paham yang sudah lama saya jadikan moto hidup: “The only constant in life is change”. Satu-satunya yang konstan pada hidup ini adalah perubahan. Tidak ada yang namanya stagnasi di dunia ini. Perubahan terjadi setiap detik, menit, jam, hari, pekan, tahun, dan seterusnya.
Moto itu juga yang saya pakai ketika harus menerima kenyataan bahwa Tabloid BOLA harus berhenti bergulir dan mengalir pada 1 Desember 2018, tempat saya mencari nafkah dan bergembira nyaris 23 tahun lamanya.
Lantas, apa hubungan Manchester United dengan Heraclitus? Nah, itu ada ceritanya.
Suatu ketika, saya punya teman yang sangat menyukai Manchester United. Sampai-sampai masuk kategori fanatik. Mungkin, kalau dia tinggal di Manchester sana, dia bakal jadi pelanggan tiket musiman Old Trafford tiap tahun.
Pada musim 2007-08, United meraih dua trofi besar: Liga Champion dan Premier League. Musim itu bisa saja disebut treble winner jika Community Shield 2007 juga dihitung.
Ketika itu, saya mengatakan bahwa suatu kali United akan ‘turun’ juga dari takhta. Sulit untuk meraih trofi, giliran klub lain yang berkuasa. Dengan jumawanya, teman saya itu mengatakan: “Tidak mungkin!”
Agaknya teman saya itu tidak kenal Heraclitus, atau memang hidupnya tidak banyak perubahan, sehingga ia tidak menyadarinya. Entahlah.
Lalu, pada akhir musim 2012-13, Sir Alex Ferguson menyudahi petualangannya sebagai manajer United. Sir Fergie pamit dengan mempersembahkan gelar Premier League. Sejak itu pula perubahan besar terjadi di dalam kubu United, perubahan yang mungkin sama sekali tak terpikirkan, akibat terbuai dengan prestasi United di bawah asuhan Sir Alex.
David Moyes
Sejak itu, United mencari pengganti Sir Alex dan pada 1 Juli 2013, David Moyes, ketika itu manajer Everton, ditunjuk menjadi pengganti Sir Alex, dengan kontrak enam tahun.
Banyak yang berharap Moyes bisa melanjutkan kerja 27 tahun Sir Alex di klub itu. Tambahan lagi, Moyes dan Sir Alex punya kesamaan: Mereka sama-sama orang Skotlandia yang lahir di kota Glasgow. Menurut situs iNews, bahkan suporter sempat memasang banner di Old Trafford berbunyi “The Chosen One”.
Ternyata yang terjadi berikutnya adalah putaran roda kehidupan United yang menuju ke bawah untuk ukuran United, walau kadang bisa naik sedikit. Tapi, belum lagi berada di puncak.
Transisi yang dialami United sangat brutal.
Di Premier League 2013-14, untuk pertama kalinya dalam 21 tahun, mereka kalah dari Everton. Lalu, untuk pertama kalinya dalam 41 tahun, mereka kalah dari Newcastle United. Kedua laga itu dimainkan di Old Trafford.
United terjerembab ke posisi ke-9 di klasemen. Moyes menerima kekalahan itu dan mengatakan tanggung jawab sepenuhnya ada pada dirinya.
Lalu, Piala FA. Pada babak ke-3, Januari 2014, United kalah dari Swansea City di Old Trafford juga. Itu pertama kalinya Swansea bisa menang di Theatre of Dreams. Berarti United hanya main satu kali di Piala FA musim itu, karena klub-klub Premier League memang mulai bermain di Piala FA pada babak ke-3.
Kemudian, United kalah di semifinal Piala Liga dari Sunderland, yang menang lewat adu penalti. Ketika itu, laga semifinal masih dimainkan kandang dan tandang.
United kewalahan bermain di Premier League. Puncaknya adalah pada 20 April 2014, ketika United kalah lagi dari Everton, menjadikan Everton bisa menang kandang dan tandang atas United untuk pertama kali dalam 44 tahun.
Dua hari kemudian, 22 April 2014, Moyes dipecat. Liga tinggal menyisakan tiga laga dan United berada di posisi ke-6. Moyes mendapat pesangon 5 juta poundsterling.
Ryan Giggs ditugasi sebagai manajer sementara untuk mengawal tiga laga tersisa. Ia juga masih berstatus sebagai pemain. Giggs mendapat hasil satu kali menang, satu kali seri, dan sekali kalah.
United mengakhiri musim 2013-14 di peringkat ke-7 plus trofi Community Shield. United menang 19 kali, seri 7 kali, dan kalah 12 kali, dengan poin 64. Dan, untuk pertama kalinya dalam sekian tahun berlaga di Premier League, United berada di luar zona Eropa.
Banyak yang menyayangkan mengapa Moyes langsung dipecat sebelum musim berakhir. Andai lebih sabar sedikit saja, biarkan Moyes dan United saling beradaptasi, mungkin sekarang kondisi United bisa membaik. Siapa tahu?
Louis van Gaal
Setelah David Moyes dipecat, United mengalami perubahan selanjutnya, yaitu dari sisi manajer. Hingga periode Alex Ferguson, Manchester United dilatih oleh orang-orang yang berasal dari Inggris, Skotlandia, dan Irlandia, masih di kawasan Inggris.
Namun, sejak Moyes dipecat, maka berakhir pula kepelatihan lokal Inggris, dalam kapasitas manajer permanen, manajer sementara tidak masuk hitungan. Manajer-manajer berikutnya adalah orang-orang yang berasal dari luar kawasan Inggris dan Irlandia.
Yang pertama adalah Louis van Gaal, manajer pertama asal Belanda, yang ditunjuk untuk menggantikan Moyes. Kontrak awal adalah tiga tahun, namun Van Gaal hanya bisa memenuhi dua tahun pertama.
Pada akhir musim 2014-15, United bisa kembali mendapatkan tempat di Eropa, ke fase grup Liga Champion 2015-16, meski akhirnya melorot ke Liga Europa. Van Gaal membawa United menjuarai Piala FA pada musim itu. Tapi, di ruang ganti, kondisi sama sekali tidak kondusif. Beberapa pemain 'menyerang' Van Gaal, menyebutnya “clueless”, dan mempertanyakan taktik yang dipakainya.
Pada akhir musim 2015-16, Van Gaal dipecat, dengan United berada di posisi ke-5 klasemen akhir, lolos ke fase grup Liga Europa.
Jose Mourinho
Pelatih asing berikut yang menangani United adalah The Special One, Jose Mourinho. Musim pertama, 2016-17, berakhir dengan bagus. Untuk pertama kali sejak ditinggal Sir Alex, United kembali meraih trofi di Eropa, yaitu Liga Europa.
Di dalam negeri, manajer asal Portugal itu membawa United menang Community Shield dan Piala Liga. Suporter menyebutnya sebagai “Mickey Mouse Treble”. Yah, yang penting trofi, bukan? Mickey Mouse atau Minnie Mouse, tak masalah.
Musim berikutnya, 2017-18, adalah kebalikan dari musim sebelumnya. Tak ada trofi yang diraih United. Mereka menjadi runner-up di liga, kalah dari klub tetangga, Manchester City. United juga kalah di final Piala FA, steelah kalah dari klub yang pernah diasuh Mourinho, Chelsea.
Musim 2018-19 lebih kacau lagi. United kalah dua dari tiga laga pertama Premier League, untuk pertama kalinya dalam 26 tahun terakhir. Salah satu kekalahan itu terjadi di Old Trafford, 0-3 dari Tottenham Hotspur, yang merupakan kekalahan kandang terbesar dalam karier Mourinho.
Setelah hanya bisa menang tujuh kali dari 17 laga pertama Premier League, membuat United tertinggal 19 poin dari pemimpin klasemen, Mourinho dipecat pada 18 Desember 2018.
Ole Gunnar Solskjaer
Pada matchday berikut, 22 Desember 2018, United sudah memiliki pelatih baru, Ole Gunnar Solskjaer, dengan kapasitas sebagai manajer sementara. Bukan orang asing buat pasukan Old Trafford. Dia adalah salah satu pemain yang membuat The Red Devils meraih treble winner legendaris pada 1998-99.
Mestinya, melatih United bukan hal yang sulit. Yekan? Yekan?
Untung saja, pertandingan pertama Solskjaer adalah melawan Cardiff City. Meski main di kandang lawan, tidak ada cerita United kalah dari klub Wales itu. Sebab, kalau kalah, bisa-bisa United siap-siap mencari manajer lain.
Setelah menang 14 kali dari 19 laga di semua ajang, kontrak manajer asal Norwegia itu dibuat permanen pada 28 Maret 2019. Lucunya, setelah berstatus permanen, United hanya menang dua kali dari 10 pertandingan di sisa musim. Dua kekalahan terjadi di perempat final Liga Champion, di mana United kalah kandang dan tandang dari Barcelona.
Lebih konyol lagi, United gagal menang pada empat laga terakhir Premier League musim 2018-19. Dengan hasil dua kali dan dua kali seri, United menutup musim dengan kalah di Old Trafford dari Cardiff, klub yang pernah ditangani oleh Solskjaer.
Musim itu, United berakhir di posisi ke-6, akan tampil di fase grup Liga Europa musim berikutnya.
Cobaan untuk Solskjaer muncul pada musim berikutnya. United hanya mendapat 10 poin dari sembilan laga pertama Premier League 2019-20. Itu adalah start terburuk mereka dalam 33 tahun terakhir.
Pada jendela transfer Januari 2020, Solskjaer melakukan pembelian pemain penting. Namanya Bruno Fernandes, yang harganya 67,6 juta pound. Fernandes, gelandang serang tim nasional Portugal, dilego dari Sporting.
Sejak Fernandes bermain untuk United musim itu, United tak terkalahkan hingga akhir musim di Premier League. Mereka mengumpulkan 32 poin dari 14 laga sejak Februari 2020.
United berakhir pada peringkat ke-3 musim itu, memiliki 66 poin, selisih 33 poin dengan Liverpool dan 15 poin dari Manchester City. Tapi, Solskjaer menyebut posisi ke-3 itu adalah prestasi besar dan akan menjadi tantangan berat untuk musim berikutnya.
Ternyata, musim berikut menjadi musim terbaik Solskjaer sebagai manajer United, walau mereka mengawali liga dengan hasil buruk. Mereka hanya mendapat tujuh poin dari enam laga pertama liga, berada di peringkat ke-15.
Sulit untuk bermain di stadion kosong. Tidak hanya untuk United, namun juga semua peserta liga di Liga Inggris, gara-gara pandemi Covid-19 yang membuat penonton dilarang hadir langsung di stadion.
Bagusnya, United hanya kalah enam kali di liga musim itu. Buruknya, semua kekalahan terjadi di Old Trafford. United tidak pernah kalah di kandang lawan.
Setelah membukukan 21 kali menang dan 11 kali seri, United bisa berada sebagai runner-up liga dengan 74 poin. Terakhir kali United berakhir sebagai runner-up Premier League adalah musim 2017-18, ketika ditangani oleh Mourinho.
Dengan optimisme tinggi, kontrak Solskjaer diperbarui lagi pada 24 Juli 2021. Kontraknya diperpanjang selama tiga musim hingga 2024.
United memulai musim 2021-22 dengan lima kali tak terkalahkan pada lima laga awal Premier League. Namun, nasib United mulai berubah lagi.
Pada laga ke-6, United kalah dari Aston Villa di kandang sendiri. Lebih parah lagi ketika mereka kalah lagi dari Leicester City 2-4 dan dibantai 0-5 oleh Liverpool di Old Trafford. Kekalahan dari Liverpool itu adalah kekalahan terburuk United dari rival beratnya itu sejak 1925.
Pada 20 November 2021, setelah kalah 1-4 dari Watford dan United kebobolan 15 gol dalam lima laga terakhir Premier League, dewan direktur lantas mengadakan rapat dadakan. Mereka memutuskan untuk memecat Solskjaer, walau menyebut kepergian OGS (Ole Gunnar Solskjaer) disebut sebagai kesepakatan bersama.
Pada 21 November 2021, OGS resmi harus membersihkan lokernya di Old Trafford dan pergi. Pada saat itu, United berada di posisi ke-7 klasemen, dengan 17 poin dari 12 laga.
Michael Carrick, pelatih tim senior dan eks pemain Manchester United, menjadi caretaker, hingga Ralf Rangnick ditunjuk sebagai interim manager hingga akhir musim.
Ralf Rangnick
Roda kehidupan United dalam posisi galau, tidak jelas. Sama tidak jelasnya dengan kehadiran Rangnick, yang mengklaim dirinya sebagai mentor Juergen Klopp dan Thomas Tuchel, manajer Liverpool dan Chelsea.
Awalnya, dewan direktur ingin memberi Carrick waktu lebih lama, namun Rangnick sangat memukau saat wawancara. Jadilah manajer asal Jerman itu ditunjuk sebagai interim manager mulai 29 November 2021. Disebutkan juga bahwa Rangnick akan menjadi konsultan selama dua tahun berikutnya.
Ternyata, Rangnick sangat gamang ketika menangani United. Apalagi, setelah United disingkirkan oleh Atletico Madrid pada babak 16 besar Liga Champion.
Mulai terlihat bagaimana status ‘sementara’ dan tidak adanya rencana jangka panjang membuat semuanya jadi tak pasti. Setelah Liverpool menang 0-4 pada April 2022, Rangnick menyebut bahwa Liverpool ‘enam tahun lebih maju’ ketimbang United.
Menjelang akhir musim, Rangnick makin terlihat frustrasi dengan mengatakan, seperti dikutip dari BBC: “Pada akhirnya, saya sama sekali tidak suka dengan semua hasilnya.”
United berada di peringkat ke-6 dengan 58 poin, raihan poin terburuk sepanjang sejarah United. Rangnick tidak mau lagi repot-repot menjadi konsultan. Rangnick lantas menerima tugas menjadi pelatih tim nasional Austria.
Erik ten Hag
United tidak tunggu waktu lama untuk mencari manajer permanen. Pada 21 April 2022, United mengumumkan Erik ten Hag sebagai manajer baru, mulai 2022-23 hingga Juni 2025, dengan opsi perpanjangan selama satu tahun.
Pada saat diumumkan, Ten Hag masih menjadi pelatih Ajax Amsterdam. Pelatih berusia 52 tahun itu resmi meninggalkan Ajax pada 16 Mei 2022 dan mulai bersiap untuk membenahi United.
Van Gaal sempat melarang Ten Hag untuk menolak kerja di United. Menurut Van Gaal, United bukanlah sebuah klub, melainkan perusahaan. Namun, Ten Hag tetap menerima kerja itu.
Musim 2022-23 akan menjadi musim ke-10 sejak United ditinggal oleh Sir Alex Ferguson pada 2012-13. Periode transisi yang dijalani sama sekali tidak indah.
Terakhir kali United mendapat trofi adalah pada 2016-17, Mickey Mouse Treble, bersama Jose Mourinho.
Kini, United boleh berharap lagi pada kata-kata Heraclitus: “The only constant in life is change”.
Tidak selamanya roda kehidupan United akan berada di bawah. Pada suatu saat akan naik juga dan berada di atas. Hanya saja, belum jelas kapan itu akan terjadi.
Mungkinkah Erik ten Hag bisa memenuhi impian Manchester United untuk kembali menjadi yang terdepan lagi Premier League dan di Eropa juga. Atau, akan ada manajer berikutnya yang akhirnya bisa mewujudkannya?
Barangkali, United harus mencoba untuk bersabar, seperti halnya pada zaman Sir Alex Ferguson. Berilah kesempatan kepada manajer pilihan untuk menuntaskan kerjanya. Sebab, tidak selamanya United berada di atas ketika ditangani oleh Sir Fergie, namun memecat manajer ketika itu bukan langkah andalan. Kalau tidak, maka Sir Alex tidak akan berada di United selama 27 tahun.
Lalu, bagaimana dengan teman saya yang suporter garis keras Manchester United yang diceritakan di atas? Terakhir kali bertemu, dia bilang tak lagi mengikuti sepak terjang United. Tidak peduli, katanya. Tapi, dia masih misuh-misuh di media sosial. Hahaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H