Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Sindrom Musim Kedua di Premier League

28 Juni 2022   07:42 Diperbarui: 28 Juni 2022   16:40 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dapatkah Thomas Frank membawa Brentford menghindari sindrom musim kedua pada 2022-23? (Sumber: Eddie Keogh/Getty Images)

Premier League Inggris. Rumah yang indah, mewah, memabukkan, gilang gemilang. Namun, sering menjadi tempat yang kejam untuk klub-klub promosi dari Divisi Championship.

Musim pertama, mereka tampil mengejutkan, meski banyak diprediksi mereka akan langsung degradasi lagi pada akhir musim. Mereka berakhir di posisi yang aman, papan tengah, jauh dari zona degradasi, meski tidak dekat juga dengan zona Eropa.

Musim kedua, wajah asli mulai tampak. Penampilan yang berantakan. Gamang, Gol-gol yang seret datangnya. Poin susah didapat. Kalah terus. Ganti pelatih. Pada akhir musim, posisi klasemen sangat dekat dengan zona degradasi, hanya selangkah ke zona itu. Malah ada yang benar-benar degradasi.

Itulah second season syndrome, alias sindrom musim kedua. Bukan mitos. Bukan dongeng. Sebab, sudah banyak klub yang mengalaminya.

Klub-klub promosi, bahkan yang pernah bermain di Premier League sebelumnya, sulit untuk beradaptasi di Premier League setelah promosi.

Dari sisi pemain. Banyak dari mereka, atau ada yang semuanya, tidak punya pengalaman untuk tampil di Premier League. Kalau mereka bisa tampil gilang-gemilang, itu karena masih terpengaruh pada euforia lolosnya mereka ke Premier League. Sukses pula membuat kejutan dengan penampilan yang belum dikenal strateginya.

Pada musim kedua, realitas mulai menyapa. Hidup tidak lagi di awang-awang. Ternyata, main di Premier League bukan hal enteng. Susah. Apalagi ketika harus menghadapi klub-klub kawakan Premier League, yang jam terbangnya tak terhitung lagi.

Ada beberapa klub yang lumayan monumental, sampai bisa dijadikan contoh penderita sindrom musim kedua. Mari kita simak.

Leeds United

  • Musim Promosi: 2020-21 (peringkat ke-9)
  • Musim kedua: 2021-22 (peringkat ke-17)

Leeds United adalah klub paling mutakhir yang mengalami sindrom musim kedua. Marcelo Bielsa membawa mereka promosi untuk musim 2020-21. Pada musim pertama itu, sejak 2004, pasukan Bielsa sangat mengasyikkan untuk ditonton. Mereka memainkan sepak bola menekan tingkat tinggi, menghibur suporter tiap pekan.

Namun, pada musim kedua, Bielsa tak bisa lagi membawa timnya main menghibur. Dirinya dipecat pada akhir Februari 2022, setelah Leeds berada di peringkat ke-16.

Manajer pengganti, Jesse Marsch, tak kuasa menaikkan posisi Leeds, yang hanya menang empat kali dari 12 laga tersisa musim itu. Leeds berada di peringkat ke-17 pada akhir musim.

Ipswich Town

  • Musim promosi: 2000-01 (peringkat ke-5)
  • Musim kedua: 2001-02 (peringkat ke-18, degradasi)

Manajer George Burley terlibat dalam delapan musim yang sukses di Portman Road. The Tractor Boys menjalani play-off promosi empat kali beruntun, sampai akhirnya mereka bisa promosi pada 2000, mengalahkan Barnsley 4-2 di Stadion Wembley.

Pada musim pertama, klub yang bermarkas di Suffolk itu sukses menduduki peringkat ke-5 pada akhir musim, termasuk lolos ke semifinal Piala Liga.

Ipswich berhak tampil di Piala UEFA, pertama kali sejak 1982. Burley mendapat gelar Premier League Manager of the Year.

Sayangnya, pada musim kedua, Ipswich kewalahan dengan padatnya jadwal. Mereka juga disingkirkan dari Eropa oleh Inter Milan, yang diperkuat antara lain oleh Ronaldo, Clarence Seedorf, Adriano, Javier Zanetti, dan Alvaro Recoba.

Lalu, Ipswich Town juga habis-habisan di Premier League. Pada akhir musim 2001-02, mereka berada pada posisi ke-18. Degradasi.

Sekarang, Ipswich bermain di League One. Musim lalu, mereka berada di peringkat ke-11 dari 24 klub peserta.

Manchester City

  • Musim promosi: 2002-03 (peringkat ke-9)
  • Musim kedua: 2003-04 (Peringkat ke-16)

Sebelum menjadi ‘klub sultan’, yang didanai oleh petrodollar, dan dilatih oleh Pep Guardiola, Manchester City adalah klub yoyo - istilah untuk klub yang 'gemar' naik turun liga, gerakannya mirip permainan yoyo - pada era 1990-an dan awal 2000-an.

Setelah degradasi pada 2001 melalui hasil karya Joe Royle, Kevin Keegan direkrut untuk mengembalikan City ke Premier League. Musim 2002-03 diakhiri City dengan posisi ke-9, dapat satu tiket untuk ikut kualifikasi ke Piala UEFA melalui jalur Fair Play. Selain itu, City juga menang di Derbi Manchester untuk pertama kalinya dalam 13 tahun.

Musim berikutnya, 2003-04, oleh Squawka disebut sebagai dimulainya era Etihad. Namun, Keegan dan anak buahnya hanya berada di peringkat ke-16, dua tangga dari zona degradasi.

Selain itu, City juga gagal menang di kualifikasi Piala UEFA. Mereka kalah gol tandang dari klub asal Polandia, yang kini sudah bubar, Groclin Dyskobolia. Keegan dilepas dari jabatannya pada akhir musim.

Reading

  • Musim promosi: 2006-07 (peringkat ke-8)
  • Musim kedua: 2007-08 (peringkat ke-18, degradasi)

Pada 2006, Steve Coppell membawa Reading untuk pertama kalinya ke level tertinggi sepak bola Inggris. Pada akhir musim, Reading berada di peringkat ke-8. Coppell mendapat gelar Manager of the Year untuk kedua kalinya secara beruntun.

Sukses pada musim pertama tidak membuat Reading kebal terhadap sindrom musim kedua. The Royals degradasi pada matchday terakhir Premier League musim 2007-08.

Saat ini, Reading ada di Divisi Championship. Musim 2022-23 adalah musim ke-10 secara beruntun Reading di level kedua sepak bola Inggris itu.

Sheffield United

  • Musim promosi: 2019-20 (peringkat ke-9)
  • Musim kedua: 2020-21 (peringkat ke-20, degradasi)

Di bawah arahan Chris Wilder, Sheffield United memiliki reputasi sebagai klub yang punya inovasi khas, memainkan sistem centre back secara berlapis yang membuat bingung para manajer di klub elite Premier League. The Blades menutup 2019-20 dengan berada di posisi ke-9.

Musim kedua, 2020-21, Sheffield United dan Wilder membuat rekor terburuk di Premier League, yaitu kalah 12 kali dari 13 laga perdana. Wilder digantikan oleh Paul Heckingbottom sebelum musim berakhir, namun Sheffield United tak bisa ditahan untuk tidak degradasi. Mereka berada di dasar klasemen.

Musim ini, 2022-23, disebut-sebut Brentford bakal kena sindrom musim kedua. Bukannya mendoakan yang buruk lho ya, tapi memang hanya pasukan Thomas Frank yang tersisa dari tiga klub promosi yang tampil pada 2021-22, di mana Brentford berada di posisi ke-13.

Dua klub lainnya, Watfotd dan Norwich City, tak sempat mengalami sindrom musim kedua. Mereka langsung degradasi pada akhir musim 2021-22.

Jadi, akankah Brentford akan tertular sindrom buruk itu? We’ll wait and see.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun