Ada yang masih ingat atau tahu koran bernama Buana Minggu? Kami pernah berlangganan koran itu akhir 1970-an dan awal 1980-an. Sesuai namanya, maka koran itu terbit setiap Minggu. Mungkin edisi Sabtu juga ada. Saya tidak ingat. Saya tidak tahu apakah koran ini masih terbit saat ini.
Yang saya ingat adalah setiap kali surat kabar itu datang, rubrik yang saya baca paling dulu adalah kisah horor. Saya tidak pasti apa nama rubriknya. Pokoknya isinya misteri dan horor. Kalau sudah semuanya membaca, biasanya saya dan adik saya lantas membahasnya.
Ngeri-ngeri sedap sih sebenarnya. Bahas apa kek gitu yang lebih berguna. Ini yang dibahas malah horor. Tapi, membahas kisah horor adalah hiburan buat kami. Masih berlangsung hingga sekarang. Setiap kali ada yang kelar membaca sebuah kisah angker, lantas dibahas. Asyik, sih.
Nah, dari Buana Minggu, ada satu kisah yang saya ingat hingga sekarang. Terus terang, yang lainnya sudah menguap dari benak. Mungkin masih ada tersimpan di salah satu bagian otak, namun tak terlalu berkesan, sehingga tak dikenang.
Kisah yang satu ini, menurut saya, sangat mengasyikkan. Yah, ketika itu saya masih duduk di sekolah dasar. Membaca kisah seperti itu, membuat saya berpikir kok bisa ya melakukan hal itu.
Jadi, ceritanya begini. Ada seorang perempuan yang agaknya dia memang iseng atau tertarik pada yang horor-horor. Suatu hari, ia ingin dibuka "mata batinnya" dan berkunjunglah dia ke "orang pintar" alias, you know, dukun.
Oleh si dukun, perempuan itu diberi tahu cara untuk bisa melihat yang tak kasat mata. Tanpa batas. Halah!
Bagaimana caranya? Cari kayu penyangga jenazah ketika dimakamkan. Tidak mungkin kayu itu diberikan dengan suka rela. Jadi, satu-satunya jalan adalah dengan mencuri. Setelah itu, bakar kayu itu hingga menjadi arang dan rebus. Minum air rebusannya.
Setahu saya, kayu penyangga jenazah itu ikut dimakamkan, tidak diambil lagi. Atau diambil, ya? Entahlah, saya tidak memperhatikan para penggali kubur ketika mereka menutup makam. Ya, sudahlah.
Si perempuan lantas bertekad untuk melakukan arahan si dukun. Dia mulai bergerilya dari satu pemakaman ke pemakaman lain, mencari jika ada prosesi pemakaman sedang berlangsung. Akhirnya ketemu!
Mulailah dia menjalankan niatnya. Menyamar sebagai anggota keluarga, keluarga jauh banget agaknya, ia tetap berdiri di samping makam sampai prosesi pemakaman kelar. Dan, ini yang samar-samar, saya tidak ingat bagaimana dia bisa mendapatkan kayunya. Pokoknya dia bisa dapat satu batang.
Bagian pertama sudah bisa dilakukan dengan sukses. Dia tidak ketahuan. Kini, saatnya menjalankan bagian ke-2. Membakar kayu, merebus arangnya, dan meminum air rebusan.
Dia mencari tempat yang jauh dari pengamatan orang ketika membakar kayu. Lumayan cepat prosesnya. Sepertinya, pembakaran itu tidak boleh dipercepat dengan bahan bakar minyak. Harus murni, kayu saja, tanpa embel-embel lainnya.
Setelah mendapatkan arangnya, ia mulai merebusnya. Tidak yakin berapa banyak air yang dibutuhkan, ia merebus air satu panci. Lalu, setelah mendidih, dimasukkanlah semua arang.
Setelah mendidih lagi, ditunggu sejenak hingga dingin, ia pun meminum air rebusan itu. Saya tidak ingat berapa banyak air yang diminumnya. Agaknya satu gelas saja juga sudah semlengeren alias bikin mabok. Mestinya begitu, wong itu kayu bukan kayu biasa.
Efeknya belum terasa saat itu, namun ketika ia makan malam bersama keluarga pada malam harinya, ia melihat segala jenis makhluk dengan wajah yang bukan main buruknya, berdiri di antara setiap kursi makan yang mengelilingi meja makan.
Mereka tentu saja ada di sana untuk terus ada di sana. Bahkan mengikuti perempuan itu. Di luar rumah pun dia melihat segala yang semula tak terlihat dengan mata biasa, di tempat kerja, ketika dia berada di pasar, di mana saja.
Sampai disitulah ingatan saya tentang kisah itu. Saya tidak tahu apakah si perempuan itu berhasil "menutup" lagi mata batinnya atau tidak. Bisa jadi ia akan terus bisa melihat hingga usianya cukup untuk meninggalkan dunia yang fana.
Pun saya tidak tahu apakah orang tuanya tahu dengan kemampuan baru putrinya. Seandainya tahu, apa juga yang harus dilakukan. Soalnya, si perempuan itu tidak bertanya kepada si dukun bagaimana caranya untuk berhenti "melihat". Dia hanya bertanya cara untuk bisa melihat.
Moral of the story. Syukurilah apa yang diberikan Allah SWT, apa adanya. Tidak perlu menambah yang tidak perlu, yang memang tidak diberikan kepada kita untuk dimiliki. Bukan begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H