Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kenangan Kisah Horor dari Koran Buana Minggu

19 Mei 2022   18:55 Diperbarui: 19 Mei 2022   19:05 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi 'orang pintar' alias dukun. (Sumber: PadangKitadotcom)

Mulailah dia menjalankan niatnya. Menyamar sebagai anggota keluarga, keluarga jauh banget agaknya, ia tetap berdiri di samping makam sampai prosesi pemakaman kelar. Dan, ini yang samar-samar, saya tidak ingat bagaimana dia bisa mendapatkan kayunya. Pokoknya dia bisa dapat satu batang.

Bagian pertama sudah bisa dilakukan dengan sukses. Dia tidak ketahuan. Kini, saatnya menjalankan bagian ke-2. Membakar kayu, merebus arangnya, dan meminum air rebusan.

Dia mencari tempat yang jauh dari pengamatan orang ketika membakar kayu. Lumayan cepat prosesnya. Sepertinya, pembakaran itu tidak boleh dipercepat dengan bahan bakar minyak. Harus murni, kayu saja, tanpa embel-embel lainnya.

Setelah mendapatkan arangnya, ia mulai merebusnya. Tidak yakin berapa banyak air yang dibutuhkan, ia merebus air satu panci. Lalu, setelah mendidih, dimasukkanlah semua arang.

Setelah mendidih lagi, ditunggu sejenak hingga dingin, ia pun meminum air rebusan itu. Saya tidak ingat berapa banyak air yang diminumnya. Agaknya satu gelas saja juga sudah semlengeren alias bikin mabok. Mestinya begitu, wong itu kayu bukan kayu biasa.

Efeknya belum terasa saat itu, namun ketika ia makan malam bersama keluarga pada malam harinya, ia melihat segala jenis makhluk dengan wajah yang bukan main buruknya, berdiri di antara setiap kursi makan yang mengelilingi meja makan.

Mereka tentu saja ada di sana untuk terus ada di sana. Bahkan mengikuti perempuan itu. Di luar rumah pun dia melihat segala yang semula tak terlihat dengan mata biasa, di tempat kerja, ketika dia berada di pasar, di mana saja.

Sampai disitulah ingatan saya tentang kisah itu. Saya tidak tahu apakah si perempuan itu berhasil "menutup" lagi mata batinnya atau tidak. Bisa jadi ia akan terus bisa melihat hingga usianya cukup untuk meninggalkan dunia yang fana.

Pun saya tidak tahu apakah orang tuanya tahu dengan kemampuan baru putrinya. Seandainya tahu, apa juga yang harus dilakukan. Soalnya, si perempuan itu tidak bertanya kepada si dukun bagaimana caranya untuk berhenti "melihat". Dia hanya bertanya cara untuk bisa melihat.

Moral of the story. Syukurilah apa yang diberikan Allah SWT, apa adanya. Tidak perlu menambah yang tidak perlu, yang memang tidak diberikan kepada kita untuk dimiliki. Bukan begitu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun