Lalu, karena saya memilih IPA murni, maka saya hanya punya dua pilihan jurusan. Yang satu lagi tentu saja harus IPA juga. Saya pilih kedokteran Universitas Sebelas Maret di Surakarta, karena eyang saya tinggal di Karanganyar, Surakarta. Barangkali saja saya bisa numpang di rumah eyang selama kuliah.
Ketika saya menjalani ujian Sipenmaru di Fakultas Teknik UI di Depok, saya sudah punya jurus tersendiri untuk menjawab soal-soal.
Untuk soal matematika, saya tidak akan repot-repot melakukan pembuktian rumus. Masukkan saja angka-angka yang ada di pilihan jawaban. Salah satu dari pilihan itu pasti akan cocok. Waktu yang dipakai untuk menghitung seperti itu jauh lebih cepat dibanding harus membuktikan rumus terlebih dahulu.
Cara itu juga berlaku untuk fisika. Ogah banget deh membuktikan rumus. Apalagi fisika. Meski, nilai fisika saya lumayan bagus waktu SMA.
Dengan cara itu, saya selalu sudah nyantai ketika pengawas mengatakan waktunya habis. Ketika menjawab soal-soal psikotes, saya juga berusaha untuk sudah selesai sebelum bel tiap sesi berbunyi.
Saat itu, saya sangat berharap bisa diterima di Depok saja. Tinggal di Karanganyar mungkin menyenangkan, tapi itu bukan rumah sendiri.
Selain itu, dengan menjadi dokter, nantinya saya harus berhubungan langsung dengan pasien, membuat diagnosa, memberi obat. Bagaimana kalau saya salah diagnosa, salah memberi obat? Ngeri!
Setelah selesai Sipenmaru, waktu menunggu hasil pengumuman pun tiba. Lumayan lama, lebih dari satu bulan. Sekali lagi, mama mendesak saya untuk mendaftar ke berbagai universitas swasta, yang iklannya muncul di koran Kompas.
Sekali lagi, saya tenang saja. Tahu tidak, apa yang saya lakukan sembari menunggu pengumuman Sipenmaru? Saya lebih banyak tidur saja di rumah. Asli, saya tidur melulu.
Mama kesal banget melihat saya tenang-tenang saja seperti itu. Mama meninta saya mendaftar kuliah di tempat lain untuk cadangan, siapa tahu tidak lolos Sipenmaru. Saya cuek saja.
Teman-teman pun sering datang ke rumah, mengajak jalan, entah ke mall atau ke tempat lain. Pada saat itu, saya belum menjadi anak mall. Lagipula, waktu menunggu hasil Sipenmaru itu saya anggap sebagai saat untuk prihatin. Bukannya untuk jalan-jalan.