Jadilah, kereta diesel itu kereta favorit. Sudah begitu, warnanya hijau pula, warna kesukaan saya.
Setiap pagi, pukul 05.30, saya sudah standby di Gambir. Saya tidak mau telat. Lima belas menit jelang pukul 06.00, kereta diesel sudah tiba di salah satu jalur, bersiap untuk berangkat. Saya dan penumpang lain, yang rata-rata mahasiswa, langsung naik begitu kereta datang.
Setiap pagi, kereta itu masih bersih, karena baru beroperasi pertama kali hari itu. Kereta itu berangkat dari Stasiun Kota. Namanya diesel, maka kereta itu tak sengebut KRL. Jalannya tenang, sehingga saya bisa belajar sebelum kuliah.
Namun, beda cerita ketika kami pulang. Kereta diesel punya jadwal kembali ke Jakarta yang lebih sering tak seiring dengan jadwal saya kelar kuliah. So, ketika pulang dari kampus, saya menggunakan KRL yang digilai oleh sejuta umat itu.
Pada saat itu, hingga saya lulus, KRL sangat kontras dengan KRL masa kini. Tak ada jendela yang tertutup. Kalau ditutup, bakal kepanasan penumpangnya. Maklumlah, tanpa AC. Pintu-pintu kebanyakan terbuka lebar, padahal seharusnya pintu itu menutup secara otomatis setelah beberapa menit terbuka.
Saya pernah melihat ada orang yang menahan pintu KRL untuk menutup. Alhasil, pintu menjadi rusak, tak bisa menutup lagi. Kadang hanya satu sisi yang tertutup, sisi lainnya tetap terbuka. Kadang terbuka total, sehingga ketika hujan, air akan masuk ke gerbong dan basah kuyup.
Belum lagi penjaja. Wah, kadang penumpang reguler harus berebut tempat dengan para penjual. Pernah suatu ketika ada penjual mangga berjalan dari gerbong ke gerbong.Â
Dia memanggul dua keranjang besar penuh berisi mangga. Bisa dibayangkan area yang tertutup oleh bapak penjual mangga dan keranjang-keranjangnya.
Belum lagi penjual lainnya. Banyak sekali penjual. Bahkan, saya sampai punya langganan penjual koran. Setiap kali bertemu, saya akan membeli satu eksemplar. Karena di rumah sudah berlangganan koran Kompas, maka saya selalu membeli koran terbitan lain.
Lalu, satu lagi. Mungkin ini tak ada lagi di KRL masa kini yang sudah dilengkapi dengan AC. Pada masa lalu, ada bau khas yang tercium di dalam gerbong KRL. Sampai sekarang pun saya masih ingat baunya, bahkan ketika saya menulis artikel ini.
Saya tidak bisa mendeskripsikan bau itu. Mungkin gabungan dari berbagai keringat penumpang dan penjual dan komponen lain yang menumpang KRL. Herannya, bau itu juga tercium di kereta diesel tadi, bahkan yang gerbongnya masih bersih sekali pun.