Selama saya bekerja di tabloid olahraga, rekan kerja saya kebanyakan adalah Gen X, sama dengan saya. Ada juga yang masuk golongan baby boomer, namun itu hanya sedikit. Lalu, seiring waktu, saya mendapat rekan kerja dari golongan milenial alias Gen Y.
Bekerja bersama orang-orang milenial tidak terlalu banyak tantangan, berdasarkan pengalaman yang saya alami. Mirip-mirip dengan Gen X, meski rentang usia yang sebenarnya tidak dekat.
Menurut Beresford Research, Gen X adalah mereka yang lahir pada 1965 hingga 1980, sementara Gen Y lahir pada 1981 hingga 1996. Saat ini, Gen Y sedang berada pada masa puncak karier, menurut saya. Usia tertua golongan itu adaah 40 tahun. Usia di mana keuangan adalah faktor yang penting, sebab mereka bisa menjadi penentu trend. Tapi, mereka juga mulai memiliki banyak keperluan, apalagi yang sudah berkeluarga.
Satu hal, Gen Z kebanyakan adalah keturunan dari Gen X. Sementara, Gen Y nantinya akan melahirkan Gen Alpha atau selanjutnya. Nah, bicara soal Gen Z, atau kadang disebut sebagai Zoomer, saya punya kesempatan untuk bekerja bersama salah satu dari mereka.
Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan salah satu mantan rekan kerja di tabloid olahraga yang saya sebut di atas. Saat ini, dia memiliki sebuah firma komunikasi dan berencana untuk membesarkan sebuah televisi online berbasis YouTube.
Kebetulan putranya juga berminat di bidang komunikasi dan mempunyai sebuah rumah produksi kecil-kecilan. Selama ini, ia dan timnya sudah membantu ayahnya untuk membuat konten audio-visual di televisi online itu.
Kini, akun mereka di YouTube itu ingin dikonsentrasikan untuk sepak bola. Dan, mereka ingin agar saya membuatkan program, sehingga isi konten tidak mblandang tanpa arah. Ada program dari pekan ke pekan.
Sebenarnya ayahnya juga ahli kalau bicara sepak bola, namun ia tak punya waktu untuk itu, karena sudah mengurus firmanya.
Anak Gen Z ini, saya tahu saat dia lahir pada 1999. Kami menengok di rumah sakit usai ibunya melahirkannya. Kini, ia berusia 22 tahun dan sejenak lagi akan menjadi sarjana. Ketika tahu bahwa si Gen Z ini sudah sedemikian besar, mendadak saya merasa sangat tua. Hahahaha
Teman saya mengatakan anaknya tidak suka dengan konten sepak bola masa lalu, yang isinya hanya sejarah. Padahal, sebagai Gen X, dengan rambut perak bertebaran di kepala, kami lebih senang mengenang-ngenang. Beda halnya dengan Zoomer yang saya temui ini.
Anak laki-laki jangkung itu menjelaskan bahwa anak-anak muda seumurnya tidak terlalu care dengan sejarah, kecuali jika konten itu menyajikan orang yang terlibat dalam sejarah itu. Yah, seandainya ada video Henri Delauney ketika pertama kali mencetuskan Piala Eropa, nah itu baru seru. Kalau hanya orang lain yang bercerita, nanti dulu.
Selain itu, mereka juga lebih suka masa kini, bahkan kalau bisa menerawang ke masa depan. Tapi, konten yang mereka pilih lebih disukai jika diceritakan, tidak harus membaca. Oleh sebab itu, YouTube menjadi pilihan mereka.
Saya? Saya sama sekali tidak suka nonton melalui YouTube. Apalagi harus menyumpal telinga dengan earphone. Gatal tak karuan rasanya, tidak nyaman pula. Kalau volumenya harus dikeraskan, saya juga tidak suka. Menurut saya, apa yang saya saksikan melalui smartphone saya, sifatnya adalah pribadi. Tidak perlu orang lain ikut mendengar apa yang saya sedang saya saksikan.
Untung saja, dalam kerja sama itu, saya akan selalu berada di balik layar. Saya hanya setor program terinci, sementara anak teman saya itu, beserta timnya, yang akan menterjemahkan program itu menjadi konten berupa tayangan.
Terus terang saja, ini pertama kalinya saya bekerja berdampingan dengan Gen Z. Di kantor saya dulu, jelas belum ada anak kelahiran 1997 yang bekerja. Karena itu, ini menjadi sebuah pengalaman yang benar-benar baru.
Itu membuat saya ingin tahu lebih banyak, seperti apa karakteristik Generasi Z ini.
Kenal teknologi sejak lahir
Menurut situs The Annie E. Casey Foundation, Gen Z adalah digital native. Jadi, sejak lahir mereka sudah terbiasa dengan kehadiran segala gawai; mereka tidak pernah tahu dunia tanpa gawai, juga internet. Sementara Gen Y alias milenial disebut sebagai "digital pioneer", mereka menyaksikan bagaimana meledaknya teknologi dan media sosial.
Gen Z lahir saat inovasi teknologi sedang membuncah, di mana informasi langsung bisa mereka akses dan media sosial menjadi santapan tiap detik.
Semua kemajuan teknologi itu membawa efek positif dan negatif untuk Gen Z. Di sisi positif, informasi yang tak terhingga banyaknya bisa diakses langsung, memungkinkan Gen Z melebarkan pengetahuan mereka dan menjadi proaktif dalam belajar.
Di sisi negatif, terlalu banyak screen time bisa membuat Gen Z menjadi terisolasi dari sekitarnya, sehingga kemampuan sosialnya tak terasah.
Potensi menjadi generasi paling kesepian
Faktor orang tua, menurut saya, sangat berperan dalam kesehatan mental anak-anak Gen Z. Sebab, dengan semakin banyak mereka menghabiskan waktu menjelajah internet di smartphone, maka akan timbul yang namanya depresi dan terisolasi. Karena itu, banyak yang menyebut Bahwa Gen Z akan menjadi "generasi paling kesepian". Apalagi kalau ditambah dengan "jebakan" media sosial, yang kadang penampilan gemerlap di layar mungil hape ternyata tak segemerlap di balik layar.
Konsumen yang teliti
Gen Z adalah konsumen yang berhati-hati ketika membeli sebuah produk. Diskon bukan hal yang bisa menarik mereka untuk membeli sebuah barang. Dengan teknologi yang ada di tangan, mereka akan dengan mudah browsing produk tertentu untuk membandingkan harga-harga di berbagai toko sebelum mereka memutuskan untuk membeli sebuah produk dari merek tertentu.
Satu lagi, mereka lebih menghargai rekomendasi dari pemakai langsung produk tersebut, meski si pemakai hanya orang biasa, ketimbang produk yang sama tapi dipromosikan oleh selebriti.
Sangat fokus pada keuangan
Untuk urusan kerja, Gen Z memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Menurut blog TTI Success Insights, tidak seperti kaum milenial yang bekerja sesuai dengan kesukaan mereka, maka Gen Z paham bahwa bekerja diperlukan sebagai alasan keuangan. Mereka akan menerima pekerjaan yang menghasilkan gaji tetap dan keuntungan lain yang diperlukan, meski mereka tidak menyukai pekerjaan itu.
Menikmati pekerjaan bukannya tidak disukai oleh Gen Z, namun mereka tidak memerlukannya. Jika harus memilih antara melakukan pekerjaan yang mereka sukai atau pekerjaan dengan gaji besar dan tetap, maka akan memilih yang terakhir.
---
Masih sangat banyak karakteristik Gen Z. Setiap situs memiliki uraian tersendiri soal generasi ini. Namun, saya tertarik pada empat hal yang saya tulis. Paling tidak, itu akan menjadi bekal untuk saya bekerja dengan Gen Z.
Jika Anda ingin lebih banyak tahu tentang Gen Z, sila menengok situs-situs berikut: 1, 2, 3.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H