Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sejuta Rasa Kala Pergelangan Kaki Terkilir

1 Desember 2021   15:08 Diperbarui: 5 Desember 2021   00:45 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pergelangan kaki terkilir bukan penyakit langka. Jauh dari langka. Menurut Google, ketika saya melakukan pencarian untuk "sprained ankle", muncullah statistik kilat yang menyatakan terkilirnya pergelangan kaki adalah kejadian yang sangat sering terjadi. 

Dalam satu tahun, di Indonesia, ada lebih dari 2 juta orang yang mengalaminya, demikian menurut Mbah Google.

Agaknya, angka itu akan lebih banyak kalau ditambah dengan mereka-mereka yang tidak "lapor" ke rumah sakit setiap kali pergelangan kakinya terkilir. 

Salah satunya adalah saya. Saya tidak mau repot-repot datang ke rumah sakit untuk masalah terkilir. Sebab, kalau saya berobat ke rumah sakit setiap kaki saya terkilir, maka jumlahnya akan sangat memalukan.

Saya adalah makhluk yang mudah terkilir, entah itu pergelangan kaki atau pergelangan tangan. Pergelangan kaki terkilir paling mutakhir yang saya alami adalah pada Senin pekan lalu.

Ceritanya, saya harus ke kantor kelurahan karena ada surat yang harus ditanda tangani oleh Pak Lurah. Kantor Lurah lumayan dekat dari rumah, tidak lebih 1 kilometer jauhnya. 

Saya berangkat lumayan pagi, well, pagi untuk ukuran saya bisa jadi sudah lumayan siang untuk orang lain. Saya berangkat naik bajaj, maksudnya supaya lebih cepat sampai ketimbang jalan kaki.

Kantor Lurah ini memiliki banyak penggemar. Setiap hari pasti banyak didatangi oleh mereka yang tergila-gila pada tanda tangan Pak Lurah. Ketika saya tiba, benar saja, pesaing saya sudah banyak. Padahal hanya satu loket yang dibuka. Antri adalah jalan satu-satunya.

Selesai urusan, belum selesai juga sih, sebab saya masih harus mengambil surat itu keesokan hari, saya memutuskan pulang dengan berjalan kaki. Lewat rute lain, karena saya ingin mampir ke minimarket. Jalan yang saya lalui, di tepi kali, memiliki trotoar yang rapi. Saya senang berjalan di atasnya.

Beberapa meter sebelum mencapai minimarket, papannya sudah tampak dari tempat saya berdiri, tiba-tiba saya melihat sebuah bangunan yang belum pernah saya lihat sebelumnya. 

Padahal, itu 'kan area rumah saya juga. Mengapa tiba-tiba ada hotel di sini? Ternyata lebih mirip motel ketika saya perhatikan lebih seksama.

Bodohnya saya, dengan perhatian yang teralih itu, saya tidak lagi melihat ke arah trotoar. Tiba-tiba, kaki kanan saya serasa melayang dan mendarat dengan kondisi tertekuk, disertai bunyi "krek!". 

Semua terjadi dalam waktu sepersekian detik, namun terasa sangat lama. Saya juga tidak bisa mengendalikan pergerakan kaki saya ketika itu.

Terkilir memang tidak berbahaya, tapi sakitnya bukan main. (Sumber: Lifesworkpt Online)
Terkilir memang tidak berbahaya, tapi sakitnya bukan main. (Sumber: Lifesworkpt Online)

Rupanya, trotoar yang ada di depan hotel tidak menyambung dengan jalan keluar hotel, melainkan terputus. Jadi, trotoar lebih tinggi dibanding jalan keluar hotel atau motel. Sementara di tempat yang lain, semua trotoar tersambung dengan jalan keluar rumah.

Saya lantas terjongkok. Beruntung saat itu saya mengenakan sepatu sneakers dengan kaus kaki yang ketat. Jadi, pergelangan kaki saya seperti "dipegangi". Ketika saya berusaha berdiri, ada dua orang dengan sepeda motor lewat, salah satu dari mereka meneriakkan: "Hati-hati, Bu!" Saya balas dengan "Ya!".

Ketika sudah bisa berdiri, saya berusaha berjalan. Terpincang awalnya, namun lancar setelah beberapa langkah. Seperti tidak terjadi apa-apa. Saya sampai di minimarket dan berkeliling di dalamnya, tanpa ada bekas terkilir sama sekali.

Selesai belanja, saya pulang ke rumah, melanjutkan dengan berjalan kaki, tentu saja. Jarak minimarket dengan rumah hanya dua gang jauhnya. No big deal!

Setiba di rumah, saya membuka sepatu dan pada saat itulah baru terasa betapa sakitnya itu pergelangan kaki. Rasanya seperti pintu air dibuka dan air pun mengalir tanpa tertahan. Seperti itulah. Semua rasa sakit tertumpah tanpa bisa ditahan.

Bagusnya, sepatu yang saya pakai adalah sepatu olahraga. Solnya rendah, jadi tidak terlalu parah, menurut saya. Soalnya, beberapa tahun sebelumnya, saya pernah terkilir ketika mengenakan sepatu boot dengan sol setinggi 7 cm. Bisa dibayangkan "betapa" banget rasanya.

Saat di rumah, saya baca kalau terkilir itu bisa sembuh dengan sendirinya, tak perlu ke rumah sakit atau ke dokter, kecuali kalau terkilirnya sangat parah atau sampai patah. Aduh, ngilu sekali membayangkannya.

Terkilir bisa pulih dalam waktu dua hari hingga satu pekan, tergantung tingkat keparahan. Kaki yang terkilir sebaiknya diistirahatkan selama beberapa jam, lebih baik lagi kalau kita berbaring dengan kaki yang terkilir diganjal bantal agar posisinya lebih tinggi ketimbang kepala, sehingga bengkak akan mengempis. Demikian yang saya baca dari berbagai literatur soal kaki terkilir.

Selain itu, pergelangan kaki juga dikompres dengan es untuk mempercepat hilangnya bengkak. Saya hanya mengoleskan gel khusus untuk otot bermasalah. 

Mereknya Thrombo***, sengaja saya samarkan agar tidak dianggap promosi. Kami biasa menyimpan gel itu di lemari es, sehingga sudah sama dinginnya dengan es ketika dioleskan.

Tapi, saya tidak bisa berbaring lama-lama. Semua pekerjaan di rumah tidak bisa dilakukan dengan saya rebahan, bukan? Jadi, ya lebih banyak oles-oles gel saja, supaya sembuh dengan kilat.

Sepekan kemudian, pergelangan kaki sudah sehat kembali, walau rasanya masih kaku. Tapi, rasa nyeri sudah hilang. Kalau kadang masih pincang, saya anggap saja itu sebagai residu terkilir.

Saya akhirnya belajar satu hal dari terkilir kali ini. Ketika berjalan, sebaiknya perhatikan jalanan, tidak perlu sambil sightseeing alias melihat-lihat "pemandangan". 

Jika ada sesuatu yang menarik untuk disaksikan, lebih baik berhenti berjalan. Setelah kelar menyaksikan apa saja yang ingin disaksikan saat itu, barulah mulai berjalan lagi.

Saya berusaha untuk mengingat pelajaran itu, dengan demikian kaki saya tidak lagi terkilir pada masa datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun