Ada yang suka sambal? Atau harus mundur diri dari menyantap sambal gara-gara perut tak kuat lagi? Terus terang, saya adalah penyuka sambal. Saat ini, saya sedang tergila-gila pada sambal hijau (atau sambal ijo?) dari restoran padang.
Wah, sudah berbulan-bulan menyantap sambal itu. Belum bosan juga. Biasanya, kalau saya sedang menyukai satu jenis santapan, maka bisa awet lamanya. Tidak jelas kapan saya akan bosan pada yang namanya sambal hijau.
Sejatinya, saya bukan penggemar sambal sejak awal. Hingga kelar kuliah, saya sama sekali tidak menyukai sambal. Diberi cabai sedikit saja itu sambal, saya akan kepedasan tak karuan. Benar-benar tak tahan.
Setelah mulai kerja, barulah indra perasa di lidah mulai terbiasa dengan yang namanya sambal. Masih kepedasan, namun mulai kebal. Kini, indra perasa di lidah saya benar-benar sudah "kapalan". Makan sambal pedas sama sekali tidak masalah.
Saya pernah membaca, jika pencernaan ingin lancar, maka santaplah cabai atau dalam hal ini sambal. Sebab, menurut salah satu artikel dari Kumparan Food, cabai dapat memproduksi cairan pencernaan, serta membantu mengantarkan enzim pencernaan ke lambung.
Sangat ilmiah. Pendeknya, cabai itu banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya. Namun, segala sesuatu yang dikonsumsi secara berlebihan akan berakibat buruk. Cabai, atau sambal, juga demikian.
Beruntunglah Indonesia memiliki beragam jenis sambal. Entahlah berapa ribu jenis yang ada di negara kita ini.Â
Tiap daerah memiliki jenis sambal tersendiri, bahkan tiap rumah punya signature sambal, alias ciri khas sambal. Karena itu, saya tidak akan bicara soal sambal dari daerah tertentu, melainkan yang ada di sekitar saya, yaitu di warung makan.
Dulu, ketika saya masih kerja, saya sempat kepincut sama yang namanya ayam goreng yang dijual di warung tenda seberang kantor. Yang membuat saya tergila-gila sebenarnya bukan ayamnya, melainkan sambal yang menjadi pelengkap.
Saya ingat, selama satu pekan di kantor, menu makan malam saya adalah ayam goreng dengan sambalnya yang khas. Sambal bikinan warung tenda itu adalah sambal terasi.Â
Sederhana saja. Saya juga bisa membuatnya. Bahannya adalah cabai, bawang merah dan putih, terasi, garam, dan gula jawa, serta sedikit gula pasir kalau perlu.Â
Namun, setiap kali saya membuat sambal, selalu saja tidak pernah pedas. Malah manis rasanya. Padahal gula jawa yang disediakan justru lebih banyak masuk mulut saya ketimbang dimasukkan ke cobek. Gula pasir pun tak dipakai.
Sayangnya, saya hanya bisa menyantapnya saat makan malam, sebab warung tenda itu baru mulai berjualan sekitar pukul 5 sore. Selain ayam goreng, mereka juga berjualan ikan goreng, lele goreng, dan soto ayam.
Nah, saya menyantap ayam goreng dan sambal itu tiap malam, tanpa nasi. Bahkan kadang porsi sambalnya minta ditambah. Pada akhir pekan, saya batuk-batuk bukan main.Â
Parah banget. Ketika masuk kantor pekan berikutnya, saya masih batuk. Dan, saya masih saja menyantap ayam goreng plus sambal, tetap tanpa nasi.
Akhirnya, saya tak tahan dengan batuk saya. Saya lalu ke rumah sakit saat pulang kantor. Rumah sakitnya dekat dengan rumah. Dokter yang memeriksa saya masih muda. Dia hanya mendengarkan saja semua keluhan saya.
Pertanyaan yang dia ajukan sungguh di luar dugaan: Apakah saya menyantap banyak sambal belakangan ini? Tentu saja saya jawab iya.
Lalu, dia mulai memeriksa saya. Yang pertama kali diperiksa bukan tenggorokan saya, melainkan perut saya. Rupanya, perut saya kembung kelas berat dan saya tidak menyadarinya.Â
Pak Dokter mengatakan itulah mengapa saya jadi batuk-batuk. Saya bingung juga. Bagaimana hubungannya? Entahlah.
Dia mengatakan begitu perut saya beres, maka batuk yang saya derita akan berhenti. Alhasil, saya justru diberi obat untuk menghilangkan kembung dan dilarang makan sambal selama beberapa pekan.Â
Dan, benar juga apa kata Pak Dokter itu. Beberapa hari kemudian, batuk saya hilang tanpa harus minum obat batuk.
Namun, saya harus puasa sambal dulu selama beberapa pekan. Setelah merasa benar-benar sehat, saya mulai lagi deh makan sambal. Test the water dulu, atau dalam hal ini, test the sambal.
Sekarang, saya sedang tergila-gila menyantap lauk apa saja dengan sambal hijau padang. Saya lebih hati-hati, memastikan harus pakai nasi setiap kali makan.Â
Porsi sambalnya pun tak berlebihan. Meski demikian, adik saya selalu mengingatkan. "Mbak, mulut kamu mungkin tahan dengan pedasnya sambal, tapi tidak dengan perutmu," dia selalu bilang seperti itu.
Tentu saja, saya sangat berhati-hati sekarang. Apalagi usia sudah tak semuda dulu lagi. Sambal tetap disantap, tapi perut, atau lambung, harus disayang-sayang, supaya tidak kemalangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H