Sederhana saja. Saya juga bisa membuatnya. Bahannya adalah cabai, bawang merah dan putih, terasi, garam, dan gula jawa, serta sedikit gula pasir kalau perlu.Â
Namun, setiap kali saya membuat sambal, selalu saja tidak pernah pedas. Malah manis rasanya. Padahal gula jawa yang disediakan justru lebih banyak masuk mulut saya ketimbang dimasukkan ke cobek. Gula pasir pun tak dipakai.
Sayangnya, saya hanya bisa menyantapnya saat makan malam, sebab warung tenda itu baru mulai berjualan sekitar pukul 5 sore. Selain ayam goreng, mereka juga berjualan ikan goreng, lele goreng, dan soto ayam.
Nah, saya menyantap ayam goreng dan sambal itu tiap malam, tanpa nasi. Bahkan kadang porsi sambalnya minta ditambah. Pada akhir pekan, saya batuk-batuk bukan main.Â
Parah banget. Ketika masuk kantor pekan berikutnya, saya masih batuk. Dan, saya masih saja menyantap ayam goreng plus sambal, tetap tanpa nasi.
Akhirnya, saya tak tahan dengan batuk saya. Saya lalu ke rumah sakit saat pulang kantor. Rumah sakitnya dekat dengan rumah. Dokter yang memeriksa saya masih muda. Dia hanya mendengarkan saja semua keluhan saya.
Pertanyaan yang dia ajukan sungguh di luar dugaan: Apakah saya menyantap banyak sambal belakangan ini? Tentu saja saya jawab iya.
Lalu, dia mulai memeriksa saya. Yang pertama kali diperiksa bukan tenggorokan saya, melainkan perut saya. Rupanya, perut saya kembung kelas berat dan saya tidak menyadarinya.Â
Pak Dokter mengatakan itulah mengapa saya jadi batuk-batuk. Saya bingung juga. Bagaimana hubungannya? Entahlah.
Dia mengatakan begitu perut saya beres, maka batuk yang saya derita akan berhenti. Alhasil, saya justru diberi obat untuk menghilangkan kembung dan dilarang makan sambal selama beberapa pekan.Â
Dan, benar juga apa kata Pak Dokter itu. Beberapa hari kemudian, batuk saya hilang tanpa harus minum obat batuk.