Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Child Free adalah Proses Kehidupan

28 Agustus 2021   22:49 Diperbarui: 28 Agustus 2021   23:12 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Child free sebaiknya bukan target kehidupan. (Sumber: Free Photos/Pixabay) 

Ketika pertama kali mendengar istilah “child free”, saya pikir artinya adalah pasangan yang sudah menikah tiba-tiba “terbebas” dari anak-anaknya dan bisa bulan madu lagi. Anak-anak di sini maksudnya sudah lepas dari usia sekolah. Misalnya, anak-anaknya sudah kuliah atau sudah bekerja, sehingga orang tuanya bisa bebas menjalani hidupnya. Tidak ada lagi anak-anak yang harus diasuh dan disuapi.

“Yay! Sayang, kita bulan madu lagi, yuk! Anak-anak sudah bisa ditinggal sendiri di rumah. Biar mereka urus diri sendiri untuk sementara.”

Seperti itulah yang saya pikir soal child free. Ternyata bukan.

Setelah saya baca, child free itu artinya tidak mau punya anak, meski sebenarnya bisa punya anak. Lawannya adalah childless, yang berarti sangat ingin punya anak, namun tidak bisa. Biasanya berkenaan dengan organ reproduksi, baik di pihak perempuan ataupun laki-laki.

Alasan child free segambreng, mulai dari tidak mau direpotkan dengan kehadiran anak, menghindari kewajiban untuk mengasuh anak, tidak mau melahirkan, dan sederet lainnya.

Sampai ada deklarasinya segala lho kalau mereka tidak mau punya anak. Tapi, kalau seorang perempuan bertekad menempuh hidup child free dan masih bersuami? Eh, siap-siap saja tekadnya itu akan bubar jalan. Allah yang Maha Kuasa bisa mengubah semuanya dengan mudah.

Menurut saya, child free itu bukan target, melainkan sebuah proses kehidupan. Perempuan mana sih yang dengan rela bertekad untuk tidak punya anak? Ketika kanak-kanak, anak perempuan biasanya akan bermain boneka. Saya pikir itu adalah sebuah naluri alamiah, bahwa suatu hari mereka ingin memiliki anak.

Saya pun juga ingin punya anak, seandainya bisa. Sekarang, saya sudah masuk golongan pra lansia, dengan baarmoeder yang sudah diangkat oleh dokter kandungan gara-gara menjadi tempat tinggal berbutir-butir besar mioma.

Saya memang child free, bebas dari anak-anak, letterlijk. Tapi, itu bukan cita-cita saya, bukan target saya.

Dalam hal asmara, saya memang tidak jagoan. Kalau bukan karena menolak laki-laki, maka saya diduakan. Lah, pokoknya selalu ada saja yang membuat saya terasa “jauh” dari lelaki idaman. Akhirnya, saya membenamkan diri dalam pekerjaan. Tak terasa lebih dari 20 tahun berlalu dan saya tenang-tenang saja.

Saya sadar umur, namun saya tidak panik. Buat apa? Toh saya dengan sadar menjalani semuanya. Seandainya saya menikah, saya tidak akan bertekad untuk tidak punya anak. Sayang rasanya untuk menolak titipan dari Allah SWT, jika memang diperkenankan.

Lalu, apakah saya menyesali kehidupan yang saya jalani? Tidak. Saya berpikir, kalau saya menikah dan punya anak, maka saya akan hidup jauh dari rumah asal saya. Rasanya, saya akan ikut suami, di mana saja dia tinggal.

Kalau sudah begitu, maka saya tidak bisa merawat mama yang sangat butuh bantuan untuk hidup sehari-hari, setelah dua kali terserang stroke. 

Saat ini, saya menjadi semacam designated child untuk merawat mama, meski saya tidak sendirian. Saya jalani saja, kadang dengan sabar, kadang juga tak sabaran. Namanya juga manusia, tak selamanya sabar.

Saya paling tidak suka jika ada seorang teman yang berkata begini: “Kamu sih enak, tidak punya anak. Tidak ada masalah. Bebas mau ke mana saja.”

Ealah! Memangnya saya tidak punya masalah gara-gara saya single? Lah, masalah sih menimpa siapa saja, di mana saja. Tidak pilih-pilih status.

Saya pernah membaca posting seorang ibu, sepertinya dia terkenal di kalangannya. Tapi, saya tidak ingat namanya. Di posting itu ia menulis tentang pasangan yang tidak ingin punya anak. Ibu itu mengatakan sikap itu salah. Ia mengatakan, salah satunya, bahwa anak akan merawat orang tuanya kelak kemudian hari.

Wow! Itukah fungsi anak? Hanya untuk merawat orang tuanya saat sudah renta nanti?

Seingat saya, mama dan almarhum bapak saya tidak pernah mengatakan bahwa saya dan adik-adik saya diharuskan untuk merawat mereka setelah tua. Tidak pernah. Saya merawat mama juga karena proses kehidupan. Semua sudah diatur, semua sudah digariskan.

Kalau saya tahu bahwa saya akan menjadi perawat mama seperti saat ini, mungkin saya akan menikah dulu-dulu. Itu kalau saya egois lho. Untung saja, saya tidak bisa membaca masa depan.

Sungguh, child free bukanlah jalan hidup yang bisa direncanakan. Sekali lagi, itu adalah proses kehidupan. Sekarang mungkin orang-orang akan bilang tidak mau punya anak, tapi entah apa yang terjadi kemudian. Bisa saja ada sebuah kejadian di mana mereka tiba-tiba ingin punya anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun