Ketika pertama kali mendengar istilah “child free”, saya pikir artinya adalah pasangan yang sudah menikah tiba-tiba “terbebas” dari anak-anaknya dan bisa bulan madu lagi. Anak-anak di sini maksudnya sudah lepas dari usia sekolah. Misalnya, anak-anaknya sudah kuliah atau sudah bekerja, sehingga orang tuanya bisa bebas menjalani hidupnya. Tidak ada lagi anak-anak yang harus diasuh dan disuapi.
“Yay! Sayang, kita bulan madu lagi, yuk! Anak-anak sudah bisa ditinggal sendiri di rumah. Biar mereka urus diri sendiri untuk sementara.”
Seperti itulah yang saya pikir soal child free. Ternyata bukan.
Setelah saya baca, child free itu artinya tidak mau punya anak, meski sebenarnya bisa punya anak. Lawannya adalah childless, yang berarti sangat ingin punya anak, namun tidak bisa. Biasanya berkenaan dengan organ reproduksi, baik di pihak perempuan ataupun laki-laki.
Alasan child free segambreng, mulai dari tidak mau direpotkan dengan kehadiran anak, menghindari kewajiban untuk mengasuh anak, tidak mau melahirkan, dan sederet lainnya.
Sampai ada deklarasinya segala lho kalau mereka tidak mau punya anak. Tapi, kalau seorang perempuan bertekad menempuh hidup child free dan masih bersuami? Eh, siap-siap saja tekadnya itu akan bubar jalan. Allah yang Maha Kuasa bisa mengubah semuanya dengan mudah.
Menurut saya, child free itu bukan target, melainkan sebuah proses kehidupan. Perempuan mana sih yang dengan rela bertekad untuk tidak punya anak? Ketika kanak-kanak, anak perempuan biasanya akan bermain boneka. Saya pikir itu adalah sebuah naluri alamiah, bahwa suatu hari mereka ingin memiliki anak.
Saya pun juga ingin punya anak, seandainya bisa. Sekarang, saya sudah masuk golongan pra lansia, dengan baarmoeder yang sudah diangkat oleh dokter kandungan gara-gara menjadi tempat tinggal berbutir-butir besar mioma.
Saya memang child free, bebas dari anak-anak, letterlijk. Tapi, itu bukan cita-cita saya, bukan target saya.
Dalam hal asmara, saya memang tidak jagoan. Kalau bukan karena menolak laki-laki, maka saya diduakan. Lah, pokoknya selalu ada saja yang membuat saya terasa “jauh” dari lelaki idaman. Akhirnya, saya membenamkan diri dalam pekerjaan. Tak terasa lebih dari 20 tahun berlalu dan saya tenang-tenang saja.