Ilustrasi - pemeriksaan gula darah (Shutterstock)
Diperkirakan sekarang, jumlah penduduk dunia penyandang diabetes mencapai 400 juta orang. Bila tidak ada perubahan gaya hidup yang bermakna, dalam dua dekade ke depan dapat meningkat 55% lebih. Tidak hanya di negara maju mewabahnya penyakit kronis ini terjadi, di negara miskin, negara berkembang juga demikian. Di India dan China, 10% penduduk dewasanya menderita penyakit ini. Urbanisasi, perubahan pola diet, gaya hidup santai, ibaratkan bahan bakar yang akan menyulut wabah diabetes di negara ini.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2013 ada sekitar 8 juta lebih penyandang diabetes, dan pada tahun 2014, hanya dalam satu tahun meningkat lebih dari 9 juta. Kenyataan sebenarnya barangkali lebih besar dari itu, karena masih banyak penderita diabetes yang belum terdiagnosis.
Sebagai ilustrasi, kemaren siang saya ngumpul dengan teman-teman satu angkatan di SMA, tidak banyak, hanya 10 orang. Karena sudah lama sekali tidak bertemu, salah satu topik pembicaraan, selain menyangkut anak, cucu, pekerjaan adalah mengenai penyakit. Ternyata dari 10 orang yang hadir itu, dua orang di antaranya diketahui menderita diabetes melitus tipe 2, berarti 20%. Walaupun itu tidak mencerminkan gambaran diabetes di Indonesia, paling tidak diabetes itu sudah banyak di tengah-tengah kita. Secara keseluruhan, lebih dari 8 persen penduduk dewasa dunia menderita diabetes melitus. Nah, "apa penyebab semua ini?"... Menurut beberapa referensi, dua faktor di bawah ini, adalah penyebab utamanya.
Â
1. Kita sekarang lebih sedikit bergerak.
Barusan sore ini saya punya pasien yang baru pertama kali didiagnosis sebagai diabetes melitus tipe 2. Seorang lelaki usia 42 tahun dengan keluhan penurunan berat badan. Dulu saya gemuk dokter, sekarang celana ini sudah longgar sekali, berat badan juga turun beberapa kilo. Dan, waktu saya beri tahu bahwa diabetes yang dideritanya sekarang ini ada kaitannya dengan aktivitas fisiknya yang kurang, pasien ini mengangguk-angguk sambil memberikan komentar, "Ya Dokter, saya banyak duduk tidak hanya di toko, di rumah juga. Kalau ke luar, ke masjid, atau ke mana pun walau hanya beberapa meter dari rumah, saya naik kendaraan, Dokter."
Fenomena banyak duduk, sedikit bergerak ini kita lihat di semua sektor kehidupan sekarang. Di tempat kerja, sektor pertanian, bahkan sampai di dapur pun demikian. Melihat anak sekolah berjalan kaki, naik sepeda sudah jarang. Sampai di sekolah, permainan yang membutuhkan gerakan fisik lebih banyak juga jarang dilakukan. Di dapur pun demikian, terutama di daerah perkotaan, dan orang kaya. Mencuci piring misalnya, tinggal memasukkan piringnya, lalu tekan tombolnya, biarkan, piring pun bersih dan kering. Memasak tidak jauh berbeda, ada oven, gas, peralatan listrik yang serba otomatis. Tidak perlu kayu bakar lagi, seperti orang tua kakek-nenek kita dulu. Kayu harus dicari ke hutan, harus ditebang, dipotong, dibelah sendiri.
Di tempat kerja sama saja, orang berkerja tidak sama lagi dengan bekerja waktu dulu. Kerja mengandalkan fisik sudah tidak begitu dibutuhkan lagi. Robot, alat-alat berat, komputer menggantikan kerja fisik manusia. Keringat kita tidak lagi bercucuran waktu bekerja. Energi yang dibutuhkan tentu juga tidak sama lagi.
Lalu, apa hubungannya dengan diabetes? Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa menurunnya aktivitas fisik ini akan meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2. Duduk di depan TV, dua jam saja sehari meningkatkan risiko diabetes lebih dari 14%. Nah, "sekarang berapa jam kita duduk sehari?" tidak hanya di depan TV, di atas sofa? Kita juga duduk di dalam perjalanan, di tempat kerja dan duduk adalah aktivitas yang paling sering kita lakukan pada waktu senggang kita. Duduk yang lama, aktivitas fisik yang kurang, adalah salah satu penyebab utama obesitas. Seperti diketahui obesitas merupakan faktor risiko penting diabetes melitus tipe 2. Di samping itu, aktivitas fisik yang kurang ini juga ternyata menyebabkan sel tubuh berkurang sensitifitasnya terhadap insulin. Sehingga diperlukan insulin lebih banyak untuk mempertahankan gula darah tetap normal, yang akhirnya menyebabkan hiperinsulinisme.
Â
2. Kita makan lebih banyak daripada yang dibutuhkan.
Walaupun masih ada sebagian penduduk dunia yang mengalami kelaparan, sebagian besar, terutama di negara maju makanan sekarang relatif berlimpah. Akibat mekanisasi pertanian, rekayasa genetik, suplai makanan jauh lebih banyak. Dibandingkan dengan beberapa dekade yang lalu untuk memperoleh satu piring nasi jauh lebih sulit dari sekarang. Apalagi dibandingkan nenek moyang kita beberapa abad yang silam. Mereka harus berburu dulu, baru mendapatkan makanan. Sekarang? Tinggal angkat telepon, mau makanan apa saja, tunggu di rumah, sambil nonton TV makanan akan diantar. Dan, ini tidak hanya di kota-kota besar, kota kabupaten, dan bahkan kota kecil kecamatan. Lalu, kalau Anda kebetulan di jalan, lagi di belakang setir, Anda malas turun, sambil tetap duduk di mobil Anda, makanan juga akan disuguhkan.
Dan, di samping pilihan makanan sangat banyak, porsi makanan juga bervariasi, mulai dari yang dianggap kecil sampai ke ukuran super jumbo. Minuman juga demikian, mulai dari ukuran kaleng, botol kecil sampai ukuran besar. Berbeda dengan nenek moyang kita dulu, yang hanya makan waktu mereka lapar. Kita makan sekarang tidak hanya karena faktor itu, banyak kesempatan yang mendorong kita makan lebih sering dan banyak yang dari seharusnya. Resepsi pernikahan, pesta ulang tahun, syukuran, atau bahkan hanya sekedar hura-hura diisi dengan pesta pora makan. Anak-anak kita sama saja, kita ajari makan banyak, sangat khawatir dengan anak yang kelihatan makannya sedikit, tapi senang dengan anak yang makannya banyak. Dulu, anak-anak kalau ke sekolah dibekali makanan, sekarang dibekali uang. Anak mau jajan, beli makanan apa pun silakan.
Di samping faktor di atas, makanan sekarang juga mengandung kalori yang tinggi, karena banyak mengandung karbohidrat olahan, lemak jenuh, transfat. Kadar gula dan garam yang tinggi, selain lemak jenuh dan trans fat, akan mempengaruhi berapa banyak seseorang akan makan. Kebiasaan makan di luar juga akan berpengaruh terhadap asupan kalorinya. Menurut survei, rata-rata masukan kalori per hari penduduk laki-laki Amerika Serikat lebih besar 200 kalori pada tahun 2000 dibandingkan tahun 1971, dan pada wanita mencapai 300 kalori. Kelebihan asupan kalori ini menyebabkan wabah obesitas. Seiring dengan meningkatnya jumlah obesitas, kejadian diabetes tipe 2 juga melonjak tinggi.
Bagaimana pengaruh kedua faktor tersebut di atas, Â bisa dilihat dari meningkatnya kasus diabetes tipe 2 penduduk Pulau Nauru, Pasifik. Sebelum era industrialisasi, aktivitas fisiknya tinggi, makanan terbatas, obesitas dan diabetes boleh dikatakan tidak ada. Tetapi setelah kesejahteraan penduduknya meningkat karena industrialisasi, aktivitas fisiknya jauh berkurang, makanan berlimpah, 34,4 persen penduduknya kemudian menjadi penyandang diabetes.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H