Mohon tunggu...
irsyadunnas
irsyadunnas Mohon Tunggu... Guru - Guru Swasta

Blogger, Ghost Writer, penggiat literasi lampung utara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Budaya Diskusi dan Pemikiran Kritis Sejak Dini dalam Implementasi Konsep Merdeka Belajar

2 Mei 2023   19:44 Diperbarui: 2 Mei 2023   19:50 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesalahan yang selama ini terjadi dalam lingkup pendidikan adalah kurangnya merangsang peserta didik memiliki pemikiran kritis terhadap suatu masalah. Tak hanya itu, budaya diskusi yang seharusnya tersedia dalam ruang-ruang pengajaran masih dirasa sangat kurang, sehingga peserta didik sejak awal sudah terdesign sebagai objek. Hal ini yang sebetulnya perlu dikoreksi dan dibenahi.

Banyak faktor yang mempengaruhi sulitnya membangun jiwa pemikiran kritis dan budaya diskusi di sekolah. Pertama, ego guru. Sejak dulu, guru dianggap sebagai sumber ilmu yang mutlak bagi para siswa. 

Apa yang disampaikan oleh guru dipastikan adalah sebuah kebenaran. Guru adalah subyek utama, dan siswa adalah objek. Inilah yang kemudian membuat peserta didik tak memiliki pemikiran kritis, karena munculnya rasa enggan untuk menyampaikan pandangannya kepada guru.

Kedua, lingkungan tempat tinggal atau rumah. Pendidikan orang tua di rumah adalah faktor penting yang menentukan pola dan sikap dasar anak dalam berinteraksi sebelum berbaur dengan lingkungan yang lebih luas, semisal di lingkungan sekolah. Hal ini yang kadang abai diperhatikan setiap orang tua di rumah sebelum melepaskan putra-putrinya untuk bertemu dengan lingkungan yang sangat majemuk, tanpa dibekali sikap percaya diri dan menumbuhkan sikap kritis, disamping bekal agama yang paling utama.

Sebagai guru, saya berbicara dalam konteks pendidikan di lingkungan sekolah dasar (SD), sebagai lingkup pengajaran yang selama ini saya jalani. 

Banyak saya temui saat proses pembelajaran di kelas, di mana anak-anak murid ketika diminta untuk menanggapi apa yang saya sampaikan, merasa enggan karena malu. 

Maka itu saya berkesimpulan, konsep merdeka belajar yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, sejalan dengan cita-cita saya untuk menumbuhkan jiwa pemikiran kritis dan budaya diskusi sejak dini kepada peserta didik yang masih duduk di bangku SD. 

Menyambut gaung semarak merdeka belajar inilah yang membuat saya berpikir, apa yang seharusnya dilakukan guru sebagai pendidik untuk mendesign awal murid-muridnya agar memiliki karakter yang kritis dan terbiasa berdiskusi dalam memecahkan suatu masalah, dalam hal ini berdiskusi soal materi pelajaran yang diberikan.

Apa yang digagas Nadiem Makarim lewat konsep merdeka belajar, mengingatkan saya dengan teori konsep pendidikan yang membebaskan ala Paulo Freire, seorang tokoh pembaharu dalam dunia pendidikan asal Brazil. Menurut Freire, pendidikan yang membebaskan adalah suatu proses pendidikan di mana peserta didik diberikan kebebasan berpendapat dan berkreasi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, sehingga anak dapat mandiri.

Freire menyoroti dominasi guru dalam proses pengajaran yang sebetulnya dalam dunia pendidikan modern, sudah harus ditinggalkan. Ia menilai, pandangan guru sebagai sumber ilmu utama tak lagi sejalan dengan perkembangan zaman. Guru saat ini harus memahami dirinya sebagai fasilitator bagi peserta didik, dan mendorong mereka memiliki kreativitas serta berjiwa kritis lewat budaya diskusi yang dihidupkan di ruang-ruang kelas. 

Pertanyaannya, apakah mungkin pembiasaan budaya diskusi dilakukan kepada anak-anak yang duduk dibangku SD? 

Sangat mungkin dan perlu diterapkan. Semisal cara saya dalam beberapa waktu ini, setelah pandemi mulai berakhir dan sekolah tatap muka secara penuh dilaksanakan. Saya memulai kelas tak hanya sekedar mengawalinya dengan ice breaking untuk membangun suasana nyaman dan ceria, namun juga ada komitmen harus berani tanya jawab, di pertengahan materi atau akhir materi. 

Saya terbiasa membagi kelas dalam beberapa kelompok kecil, yang bertugas memecahkan materi yang saya sampaikan. Kelompok-kelompok kecil sesuai arahan dan panduan dalam buku inilah nantinya saya dorong untuk berani berbicara, minimal mau menanggapi pernyataan rekan-rekannya, walau dalam bahasa mereka sendiri. 

Pembiasaan ini saya lakukan agar mereka terbiasa bertutur kata dengan struktur yang baik, menghormati pandangan teman-temannya yang lain, serta bertujuan dengan membangun budaya diskusi sehat serta pemikiran kritis.

Saya tak mengklaim cara ini sukses dilakukan secara instan, namun bertahap saya yakini anak-anak usia dini tersebut ke depan memiliki jiwa-jiwa sebagai calon pemimpin masa depan bangsa.

Akhirnya, konsep dan program merdeka belajar perlu didukung banyak pihak tak hanya dalam lingkup pendidikan saja, namun seluruh elemen masyarakat, termasuk pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan.

Mari bergerak bersama, semarakkan merdeka belajar untuk pendidikan Indonesia yang progressif berkemajuan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun