Mohon tunggu...
irsyadunnas
irsyadunnas Mohon Tunggu... Guru - Guru Swasta

Blogger, Ghost Writer, penggiat literasi lampung utara

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Cerita Bangkitnya Persatuan Dua Suku yang Berbeda di Kampung Halaman

30 April 2023   19:30 Diperbarui: 30 April 2023   19:46 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada perasaan bangga sekaligus haru, meninggalkan kampung halaman seusai libur lebaran dan kembali mengadu nasib di tanah rantau. Setiap tahun, saat mudik sangat terasa perubahan yang terjadi di kampung halaman, utamanya dalam 4-5 tahun terakhir ini.

Kampung halaman saya di Lampung (tepatnya di Kabupaten Tulang Bawang Barat), sejarahnya merupakan daerah tujuan program transmigran era Pak Harto dari Pulau Jawa pada akhir 1960-an. 

Saya pernah mendapatkan informasi langsung dari para sesepuh desa, bahwa mereka datang hingga ribuan KK dan disebar ke berbagai wilayah di Propinsi Lampung. Kebanyakan mereka berasal dari Propinsi Jawa Tengah, makanya nama-nama desa tujuan transmigran sesuai tempat asal mereka, seperti desa Wonosobo, desa Brebes, desa Banyumas yang merujuk dari beberapa daerah yang berada di Propinsi Jawa Tengah.

Hingga akhir tahun 70-an, kelompok transmigran ini melestarikan adat istiadat dan tata cara ritual beribadah sesuai yang mereka pahami sebelum datang. Jika boleh disebut, mereka ini kaum nahdliyin secara kultural karena umumnya ormas ini 'nempel' di kalangan masyarakat Jawa. 

Anda boleh tak setuju dengan pernyataan ini, tapi faktanya kyai-kyai NU dalam beberapa pengajian menggunakan bahasa Jawa, karena mayoritas jamaahnya adalah orang-orang Jawa. 

Proses akulturasi budaya oleh penduduk transmigran di kampung halaman saya terhitung lambat, karena penghuni asli (suku Lampung) sangat berbeda secara karakter. Penduduk asli Lampung yang umumnya tinggal di tepian sungai-sungai, sedangkan kelompok transmigran mendapat lahan garapan dari pemerintah pusat. Di sinilah letak awal kurang menyatunya penduduk asli dengan para transmigran dari Pulau Jawa.

Barulah pada awal-awal tahun 1980-an, mulailah datang para perantau dari berbagai daerah di Sumatera, yang umumnya dari Sumatera Barat, termasuk orang tua saya. 

Orang tua saya datang di Lampung sebetulnya bukan sebagai perantau yang sengaja ingin datang untuk mengadu nasib. Ayah Ibu saya kebetulan diterima PNS secara bersamaan di tahun 1981, dan Lampung sebagai wilayah penempatan kerja. Ibu saya cerita, tahun-tahun itu tak ada yang minat jadi PNS karena gajinya kecil, dan dianggap memiliki masa depan yang tak pasti. Makanya almarhum ayah dan ibu saya, lulus murni dengan mudah tanpa suap.

Kedatangan para perantau Minang di kampung halaman saya, tentu membawa tradisi dan kebiasaan baru. Mereka yang umumnya para pedagang, dalam kebiasan tertentu soal ibadah berbeda dengan kelompok transmigran. Lucunya, warga transmigran asal Jawa itu menyebut para perantau Minang sebagai orang Muhammadiyah. 

Ya, memang kami para perantau Minang tak mengenal istilah Yasinan, Tahlilan apalagi doa Qunut subuh yang umumnya dipraktikan kaum Nahdliyin. Apakah kemudian itu disebut Muhammadiyah? ya enggak juga dong. Ini soal kebiasaan saja yang diajarkan guru-guru ngaji orang tua kami dulu di Sumatera Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun