Pandemi lebih mirip  gerakan  radiasi bom atom yang dijatuhkan dini hari. Menyerang semua elemen secara tiba-tiba, ekonomi, institusi politik, struktur sosial terlebih kesehatan dan tak bisa dielakan sektor pendidikan juga merasakan imbasnya.
Beberapa waktu terakhir dunia pendidikan dipaksa beradaptasi secara radikal dan komprehensif. Revolusi dari sistem pembelajaran tatap muka menjadi pembelajara daring dipraktekan di seluruh jenjang pendidikan. Mulai perguruan tinggi, sekolah menengah, sekolah dasar hingga jenjang pendidikan anak usia dini.
Pembelajaran daring awalnya menjadi kegiatan yang tidak lumrah (abnormal) di institusi-institusi pendidikan. Namun karena tuntutan protokol kesehatan yang mengharuskan masyarakat melakukan pembatasan sosial pembelajaran daring menjadi kelumrahan baru (new normal). Selain pembelajaran, bahkan marak seminar online ( webinar) yang diselenggarakan institusi-institusi pendidikan terkhusus dunia kampus.
Transformasi  Masal Pembelajaran Perguruan tinggi
Disrupsi dahsyat terjadi di perguruan tinggi. Kemendikbud memutuskan pembelajaran di seluruh perguruan tinggi dilaksanakan secara daring.Â
Ini menjadi kali pertama pembelajaran daring secara menyeluruh dipraktikan selama satu semester sampai ada kebijakan lebih lanjut. Kecuali untuk sejumlah aktivitas prioritas mahasiswa yang memengaruhi kelulusan pendidikan.
Seperti pemaparan  Nadiem dalam konferensi video Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik Baru di Masa Pandemi Covid-19, Senin(15/6/2020). "Karena keselamatan adalah yang nomor satu, saat ini perguruan tinggi masih melakukan secara online sampai ke depannya mungkin kebijakan berubah. Tapi, sampai saat ini belum berubah, jadi masih melakukan secara daring. Itu adalah keputusan dari Kemendikbud saat ini,"
Alasan mengapa kampus dilarang untuk tatap muka, menurut Nadiem, universitas memiliki potensi mengadopsi dan beradaptasi pembelajaran jarak jauh lebih mudah ketimbang pendidikan menengah dan dasar. Keputusan final ini disepakati bersama oleh 3 kementrian notabene berkapasitas mengurus pendidikan saat pandemi yaitu kemendikbud, kemenag dan kemenkes.
Selain itu, kampus akan menjadi episentrum jika pembelajaran dilaksanakan tatap muka menjadi kekhawatiran berbagai akademisi.  Rektor Universitas Jember (Unej), Iwan Taruna, memaparkan dalam webinar yang diadakan FKIP Unej  "dari 31.796 mahasiswa aktif Unej, sekitar 76 persen di antaranya berasal dari daerah yang berstatus merah di Jawa Timur. Sehingga jika proses belajar mengajar secara tatap muka dilaksanakan di Unej, maka dikhawatirkan kampus akan menjadi episentrum baru penularan Covid-19. "Kita sangat berhati-hati dalam memutuskan akan membuka kampus atau meneruskan belajar secara daring," ujar Iwan.
Problem dan Dua SkenarioÂ
Tam dan El Azar (2020) menyatakan pandemi virus corona menyebabkan tiga perubahan mendasar di dalam pendidikan global. Pertama, mengubah cara jutaan orang dididik. Kedua, solusi baru untuk pendidikan yang dapat membawa inovasi yang sangat dibutuhkan. Ketiga, adanya kesenjangan digital menyebabkan pergeseran baru dalam pendekatan pendidikan dan dapat memperluas kesenjangan.
Pembelajaran daring secara keseluruhan berbasis digital menjadi tantangan baru dunia pendidikan. Kesenjangan digital dan sarana prasaranya berimbas menjadi kesenjangan mutu pendidikan seperti pendapat perubahan Tam dan El Azhar.
Tentunya hal ini perlu diperhatikan pemangku kebijakan pendidikan agar menciptakan kebijakan konstruktif. Perubahan besar tanpa kebijakan komprehensif dan terarah menjadikan kebijakan compang-camping menjadikan adanya lapisan mahasiswa yang dikorbankan.
Asumsi di atas, didasarkan pada pendapat William Bridge (2005) dalam bukunya; "Managing Transitions" bahwa sesungguhnya masalah kita hingga saat ini bukanlah kurang dan rumitnya perubahan itu, melainkan ketidakefektifan mengelola setiap fase perubahan.
Dalam menyongsong disrupsi dahsyat ini, sekiranya realisasi pembelajaran daring tergantung dua segmen penting. Pertama adalah fasilitas penunjang daring dan kedua, Â latar belakang ekonomi. Dua faktor ini perlu diperhatikan untuk meminimalisir kesenjangan pendidikan.
Pertama, pemerintah  mesti menjamin penyediakan koneksi internet yang lancar dan stabil dan subsidi kuota . Harus ada alokasi anggaran secara khusus untuk mendukung lancarnya kegiatan pembelajaran daring tersebut.
Beberapa Perguruan Tinggi telah memperhatikan sektor ini. Seperti kebijakan UIN Yogyakarta memberikan layanan free akses internet ke sistem belajar online melalui provider Telkomsel dan im3 selama 2 bulan di semester genap tahun ajaran 2019-2020.
Keterbatasan akses internet menjadi kelemahan dari layanan ini. Free akses hanya dapat digunakan di jaringan dan layanan Indonesian Research and Education Network (IdREN). Subsidi kuota seharusnya menjadi jalan keluar keterbatasan ini, karena pemerintah berkewajiban memberikan fasilitas penunjang kegiatan pembelajaran daring.
Kedua, latar belakang ekonomi mahasiswa perlu diperhatikan. Pandemi yang membuat lesunya roda ekonomi sangat berdampak bagi pendapatan wali mahasiswa. Jangan sampai lesunya ekonomi menjadikan wali mahasiswa tidak dapat memenuhi kewajiban membayar biaya uang kuliah tunggal persemesternya.Â
Skema terbaik harus dikeluarkan pemerintah agar angka putus kuliah tidak melebar sebab pandemi. Potongan biaya kuliah dan pengunduran waktu pembayaran seharusnya menjadi salah satu jalan keluar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H