Kelompok Islam transnasional ini gencar mendakwahkan ajarannya dan mereka lebih militan daripada kelompok modernis yang sudah ada dalam memurnikan ajaran Islam dari pengaruh TBC. Justru ketika kelompok modernis sudah mulai moderat, serta meninggalkan isu TBC. Kelompok-kelompok transnasional malahan ekspansinya secara terstruktur, sistematis, dan masif. Banyak masjid-masjid di komplek perumahan yang baru didirikan pascas 2004, malahan diisi oleh pendakwah dari gerakan Islam transnasional ini.Â
Belakangan dalam diskursus kajian akademis Islam Indonesia, kita mengenal adanya gejala "Islam perkotaan" yakni kelompok Islam kelas menengah di perkotaan yang kebanyakan tidak dididik dalam tradisi pesantren dan juga tidak terlalu aktif dalam perayaan tradisi Islam seperti maulidan, barzanji, dll tidak seperti jemaat Musim di daerah perkampungan. Kelompok kelas menengah Muslim perkotaan selama ini menjadi basis bagi Muhammadiyah, belakangan basis tersebut mulai digarap kelompok Islam transnasional ini. Oleh karena isu yang dibawa sama, terutama soal pemurnian Islam dan juga dalam dakwahnya kelompok Islam transnasional dakwahnya lebih memikat, sehingga banyak masjid-masjid yang semula terafiliasi dengan Muhammadiyah kemudian beralih menjadi salafi ataupun tarbiyah.
Kecendrungan ini rupanya disadari oleh beberapa elite Muhammadiyah atau juga oleh elite Partai Amanat Nasional (PAN). Kekhawatiran tentang masjid-masjid Muhammadiyah direbut oleh salafi/wahhabi ataupun oleh IM/PKS, ini disuarakan oleh Zulkfli Hassan: "Kenapa magrib sama subuh di masjid? Kalau kamu magrib sama subuh nggak di masjid, orang-orang di masjid nanti suaranya diambil PKS semua" ujarnya ketika berpidato depan kader-kader PAN. Setidaknya di level politik, PAN sebagai partai yang mengklaim dirinya representasi Muhammadiyah mulai mengakui bahwa suara akar rumput Muhammadiyah beralih  ke PKS dan partai lain.Â
2. Perkaderan Muhammadiyah yang perlu dibenahi. Belakangan ini perkaderan Muhammadiyah hanya berfokus kepada sekolah-sekolah, universitas, maupun rumah sakit Muhammadiyah. Sedangkan basis massa di akar rumput tidak tersentuh, sehingga akhirnya banyak masjid-masjid yang secara kultural terafiliasi Muhammadiyah kemudian terpikat pada gerakan Islam transnasional seperti Salafi/Muhammadiyah. Di kampus-kampus non-Muhammadiyah, misalkan di kampus-kampus bukan berbasis agama; kita bisa melihat eksistensi Muhammadiyah melalui Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tidak begitu terlihat.
3. Para pengurus Muhammadiyah sibuk mengurusi Anak Usaha Muhammadiyah (AUM). Muhammadiyah memiliki banyak sekali aset di bidang pendidikan dan kesehatan, sekolah serta universitasnya sendiri memang banyak yang bagus karena selama ini diperhatikan dan dirawat oleh DPP Muhammadiyah. Bahkan golongan non-Muhammadiyah seperti orang yang berasal dari keluarga NU ataupun non-Muslim sekalipun (terutama di Indonesia Timur), banyak yang bersekolah ataupun kuliah di institusi pendidikan milik Muhammadiyah. Ada kesan bahwa elite Muhammadiyah sibuk berpolitik untuk mempertahankan aset, sehingga akar rumput kemudian digarap oleh kelompok lain.
4. NU yang menemukan relevansinya. Pada masa abad 20 dakwah-dakwah Muhammadiyah dan kelompok modernis Islam lainnya membawa semangat yang sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist) sehingga Muhammadiyah pada mulanya lebih unggul secara kualitas intelektual bila dibandingkan NU. Bahkan NU saja didirikan untuk merespon gencarnya dakwah Muhammadiyah dan ormas Islam modernis lainnya. NU sejak 1984 tepatnya di masa kepemimpinan Gus Dur mulai merubah orientasi organisasinya dari yang semula bersikap reaktif terhadap wacana Muhammadiyah, NU mulai memodernisasi organisasinya dan mengirimkan banyak kadernya untuk kuliah di luar negeri, terutama ke negara-negara barat. Walhasil NU yang semula gagap dengan modernitas, kemudian mulai bergerak lebih jauh lagi ke arah posmodernisme.Â
Di era Revolusi Industri 4.0 ini wacana modernitas telah digantikan oleh posmodernitas. Modernitas yang berasal dari landasan epistemologi barat yang bersifat positivistik, seperti adanya oposisi biner (hitam-putih), menolak sumber pengetahuan yang tidak bisa ditangkap panca indera, dsbnya. Justru dalam posmodernisme hal-hal yang semula ditolak oleh modernitas kemudian diterima, di situlah kemudian banyak khazanah keilmuan Islam tradisional, kemudian mulai menerima rasionalisasinya di bawah posmodernisme.
5. Beberapa kali Muhammadiyah berbeda sikap dengan pemerintah soal tanggal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Generasi millennial hingga generasi Z, banyak yang tidak terlalu berminat untuk debat atau pembahasan detail soal isu agama. Memang ada yang meminati seperti saya, namun itu jumlahnya tidak terlalu banyak. Bahkan lantaran saya memiliki minat besar dengan isu teologis dan perbandingan agama, seringkali diriku terasing di tengah kaumku sendiri. Seringkali yang saya temukan generasi millennial hingga Z lebih tertarik dengan hal-hal kongkrit dan praktis seperti teknologi, sosmed, AI, bahkan peluang lapangan pekerjaan dan juga bagaimana menghasilkan uang dari hal-hal yang tidak konvensional (jadi youtuber, influencer, dsb).
Generasi sekarang tidak banyak yang tahu NU berdiri kenapa dan Muhammadiyah berdiri karena apa, tahunya mereka kalau pemerintah menetapkan tanggal sekian Idul Fitri maka mereka ikut saja. Jadi kalau ada tanggal hari raya umat Islamnya berbeda dengan pemerintah, seringkali mereka anggap hal itu aneh saja atau mereka memilih tidak peduli serta tidak mau tau terlalu banyak. Saya pernah coba buka topik obrolan waktu lagi nongkrong dengan anak-anak muda membahas metode NU ataupun Muhammadiyah menentukan tangga Idul Fitri, mereka tidak menunjukkan ketertarikan dan berharap saya ganti tema pembicaraan.Â
Sayang sekali apabila Muhammadiyah yang memiliki sejarah ratusan tahun di negeri ini, malahan tidak banyak diketahui oleh anak-anak muda. Mereka lebih tau para pendakwah dari gerakan Islam transnasional, sedangkan anak muda yang punya gaya kehidupan sekuler-liberal malahan tidak tertarik dengan semua itu. Sikap Muhammadiyah yang seringkali berbeda tanggal hari raya dengan pemerintah, membuatnya di kalangan anak-anak muda, terkesan jadi sekte sendiri yang berbeda dengan ormas Islam lain di Indonesia, sungguh disayangkan apabila ada anggapan seperti ini padahal Muhammadiyah sudah ada sebelum negara ini ada dan telah menghasilkan banyak tokoh.
Masjid di komplek saya terpengaruh oleh ajaran Salafi, tata peribadatannya seperti yang saya jelaskan mirip dengan Muhammadiyah. Namun ketika hari raya besar umat Islam mereka ikut pemerintah, karena doktrin Salafi sendiri yang mengajarkan untuk ikut pemerintah. Bila di Masjid yang terpengaruh ajaran Tarbiyah, patron gerakan ini yakni PKS ialah salah satu partai Islam terbesar di Indonesia.Â