Mohon tunggu...
Irsan Nur Hidayat
Irsan Nur Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Jakarta, Indonesia

Pencinta Sepak Bola yang juga Penikmat Dinamika Politik.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Setelah Barisan Belakang, Penyakit Baru Manchester City adalah Tumpulnya Barisan Depan

22 November 2020   17:05 Diperbarui: 22 November 2020   17:19 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Manchester City nampaknya menjalani sembilan pekan pertama di Premier League dengan hasil yang tidak begitu memuaskan. Setelah mereka mampu menang di kandang Wolves 3-1 pada laga pembuka, mereka harus tertunduk malu manakala kalah 2-5 atas Leicester City. 

Sempat mengalami perbaikan performa setelah imbang 1-1 di kandang Leeds United, lalu menang 1-0 atas Arsenal, kemudian City terlihat sedikit kesulitan ketika imbang 1-1 atas tim papan tengah, West Ham United. Setelah itu, City juga hanya mampu menang 1-0 atas Sheffield United, tim yang saat ini ada di posisi bawah klasemen sementara. 

Sebelum jeda internasional terakhir, City hanya mampu menahan imbang Liverpool dengan skor 1-1 setelah penalti Kevin de Bruyne ketika itu melebar dari gawang Alisson. 

Setelah jeda internasional, City kembali harus mengalami kekalahan setelah rentetan laga tanpa kekalahan, dengan skor 2-0 atas tuan rumah Tottenham Hotspurs yang kini ada di puncak klasemen sementara Premier League. Kekalahan ini sekaligus memperpanjang rentetan yang kurang baik bagi The Citizens setelah tidak pernah menang di kandang Spurs yang baru direnovasi tersebut, setidaknya pada tiga musim terakhir.

Kita tahu, sebenarnya, Man City memang engalami penurunan performa sejak musim lalu. Hal ini terlihat dari selisih poin City dengan Liverpool yang (merupakan pemuncak klasemen saat itu) pernah mencapai 25 poin, setidaknya sebelum jeda akibat Pandemi COVID-19. 

Faktor yang terlihat jelas menjadi alasan turunnya performa City ialah rapuhnya lini belakang sejak ditinggal Aymeric Laporte akibat cedera panjangnya, lalu John Stones dan Nicolas Otamendi yang kesulitan menemukan performa terbaiknya, hingga Fernandinho yang aslinya berposisi sebagai gelandang bertahan mau tidak mau ditarik menjadi palang pintu pertahanan bagi skuad asuhan Pep Guardiola, dan sayangnya, ia nampak kesulitan berada di posisi tersebut. 

Setelah jeda Pandemi COVID-19, City memang terlihat membaik, beberapa kali menang besar jadi buktinya, meskipun pada akhirnya City harus merelakan peluang meraih dua trofi, yaitu Piala FA dan UCL setelah dikandaskan masing-masing oleh Arsenal dan Lyon, tetapi catatan City pada akhir musim lalu, saya rasa tidak buruk-buruk amat. Pada musim ini, penyakit pertahanan tersebut coba disembuhkan oleh Pep Guardiola, dengan mendatangkan Ruben Dias dari Benfica. 

Setelah kedatangan bek asal Portugal tersebut, di awal musim ini setelah kalah 2-5 atas Leicester, City mengalami peningkatan dari sisi pertahanan, setidaknya hanya kebobolan tiga gol di Premier League saja, hingga setelah pertandingan tadi malam, maka jumlah kebobolan City menjadi lima gol. Tidak buruk untuk pakem baru dari Man City ini. Kendati demikian, setelah berurusan dengan masalah pertahanan, kini muncul masalah baru bagi Man City. Apa itu? Ya, penyerangan.

Masalah penyerangan di lini depan City mulai terlihat ketika City kalah atas Lyon 3-1 di perempat final Liga Champions Eropa. Kita tentu masih ingat bagaimana Raheem Sterling yang gagal menceploskan bola ke gawang Lyon yang sudah kosong ketika itu, dan malah pada beberapa saat kemudian, Lyon memperbesar keunggulan menjadi 3-1 yang bertahan hingga akhir laga. 

Selain akibat pendeknya pramusim, tidak adanya sosok "target man" bisa dikatakan menjadi alasan utama mengapa tabungan gol Manchester City menjadi seret di Premier League musim ini. Bahkan, City baru mencetak 10 gol musim ini. Bukan suatu hal yang baik, mengingat biasanya City bersaing di papan atas dan sering menang dengan skor yang besar, setidaknya dari beberapa musim sebelumnya. 

Sergio Aguero yang biasanya menjadi tumpuan utama City, mulai menurun performanya akibat usia yang tak lagi muda, dan cedera yang dialaminya. Gabriel Jesus juga belum bisa dikatakan maksimal menjadi pelapis Sergio Aguero, selain itu mengingat umurnya pun masih muda, masih perlu banyak waktu sebelum ia benar-benar matang sebagai pemain. 

City, praktis hanya benar-benar mempunyai dua pemain yang bisa bermain sebagai ujung tombak. Tentunya ini menjadi masalah apabila keduanya cedera, dan beberapa kali City harus kehilangan kedua pemain tersebut akibat cedera. Lalu, bagaimana penggantinya?

Biasanya, Pep menaruh Raheem Sterling untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh Aguero dan Jesus, dan jelas itu bukanlah posisi naturalnya, walau sejatinya Sterling pun bisa saja dimainkan dalam posisi itu. Hasilnya? Tentunya tidak maksimal, seringkali Sterling justru membuang-buang peluang. Ia seringkali bingung ketika sudah memasuki kotak penalti. Selain posisi ujung tombak, winger yang dimainkan oleh Pep Guardiola juga cenderung tidak maksimal. 

Riyad Mahrez seringkali terlalu lama memegang bola, beberapa percobaannya untuk menembus sisi kiri pertahanan lawan gagal. Setelah kepergian Leroy Sane, Pep memang memboyong Ferran Torres dari Valencia dengan mahar 23 juta euro, akan tetapi, belum ada hasil yang signifikan dari pemain asal Spanyol tersebut. 

Ia masih belum menunjukkan performa impresifnya di Liga Inggris ini, walau memang ia rajin mencetak gol di UCL, tetapi, itu tak dapat dijadikan ukuran, karena lawan yang dihadapi Man City di UCL dan Premier League harus diakui berbeda kualitas. City tergabung dalam grup yang relatif mudah di UCL musim ini. Sepertinya, masih butuh waktu bagi Ferran Torres untuk bisa menunjukkan performa terbaiknya di Premier League. Terlebih umurnya juga masih muda, sehingga fans pun memang harus bersabar.

Jadi, saya rasa cukup jelas mengapa City tidak sesuperior dibandingkan dua musim lalu ketika berhasil menjadi juara Premier League. Ketiadaannya sosok target man di lini depan Man City menjadi alasan utama. City membutuhkan seorang target man yang setidaknya memiliki postur yang tinggi. 

Aguero yang tidak begitu tinggi dan mulai menunjukkan penurunan performa, serta Jesus yang tidak begitu tinggi dan belum konsisten, membuat seringkali City buntu di depan khususnya jika kedua target man tersebut tidak dapat bermain, karena tidak adanya sosok target man dan lawan yang dihadapi juga biasanya cenderung bertahan ketika menghadapi City. 

Harusnya, ketika deadlock atau kebuntuan terjadi, memang harus ada perubahan yang dilakukan, seperti banyak melakukan crossing, tetapi karena postur pemain depan City rata-rata tidak begitu tinggi, jelas ini menjadi masalah karena bola-bolanya mungkin tidak terjangkau. 

Pep memang harus melakukan penyegaran skuad di kubu Manchester Biru, salah satunya adalah memboyong suksesor Aguero secepatnya, setidaknya pada jendela transfer Januari ini, sekaligus memberikan kompetitor baru bagi Gabriel Jesus. Jika tidak, ini akan terus menjadi masalah bagi The Citizens, hingga setidaknya akhir musim ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun