Juventus harus kembali gugur dari babak knock-out Liga Champions Eropa setelah hanya mampu menang tipis 2-1 atas Tim asal Prancis, Olympique Lyonnais.Â
Dwigol yang dicetak oleh Cristiano Ronaldo tidak mampu meloloskan Si Nyonya Tua ke perempat final, karena secara agregat, Juventus kalah dengan agregat gol tandang walau secara harfiah sebenarnya mereka imbang dengan Lyon yaitu 2-2.
Tetapi Lyon mampu mencuri satu gol di Juventus Stadium melalui Memphis Depay dengan "panenka"-nya, sedang Juventus pada lima bulan yang lalu atau sebelum jeda akibat pandemi COVID-19 harus kalah tipis 1-0 di kandang Lyon. Sehari berselang, Maurizio Sarri resmi "ditentang" oleh manajemen Juventus.
Kendati Sarri tetap mampu menorehkan gelar Serie A yang ke-9 kalinya berturut-turut, tetapi itu tak mampu mengubah keputusan manajemen Juventus sendiri.
Bagi saya, keputusan Juventus untuk memecat Sarri dapat dikatakan masuk akal, sangat masuk akal. Mengapa demikian? Mari kita lihat bagaimana Juventus sempat beberapa kali kehilangan poin musim ini.Â
Bahkan, di laga terakhirnya saja, tim yang identik dengan seragam putih-hitamnya itu harus takluk atas AS Roma dengan skor 1-3 di kandangnya sendiri. Belum laga-laga lain terutama setelah jeda pandemi ini, termasuk ketika mereka harus tertunduk malu karena dikalahkan salah satu rivalnya, AC Milan dengan skor 4-2 di San Siro.Â
Walaupun pada akhirnya Juventus tetap menahbiskan diri atas scudetto-nya yang ke-9 kali secara berturut-turut, tetapi mereka hanya berjarak satu poin dengan peringkat ke-2 klasemen akhir, Inter Milan.Â
Satu hal yang saya rasa belum pernah terjadi dalam 9 tahun terakhir, baik pada masa kepelatihan Antonio Conte dan Massimiliano Allegri. Dapat dikatakan musim ini terjadi penurunan performa dari sisi para pemain Juventus.
Harus diakui, semakin sering juara, normalnya mereka akan terbiasa akan hal itu. Adalah wajar apabila kemudian Si Nyonya Tua mengincar gelar yang lebih prestisius, yaitu si kuping besar atau gelar Liga Champions Eropa.Â
Gelar yang terakhir kali mereka cicipi pada musim 1995-1996. Artinya setidaknya sudah dua dekade lebih mereka tidak kembali mendaratkan gelar nomor satu Eropa ini ke publik Turin.Â
Sejak mereka mulai juara berturut-turut, setidaknya di masa yang sama, mereka sudah dua kali masuk final Liga Champions, yaitu 2015 dan 2017, dan dari dua final tersebut, dua-duanya berakhir dengan kekalahan, yang dua-duanya pula dikalahkan oleh tim asal Spanyol, yaitu Barcelona dan Real Madrid.
Berbagai penandatanganan tentunya mereka lakukan demi mendaratkan gelar yang sudah diidam-idamkan sedari lama, termasuk sang megabintang, Cristiano Ronaldo. Akan tetapi, itu tetap saja belum cukup untuk mendaratkan si Kuping Besar.Â
Terbukti pada musim lalu, harapan mereka pupus oleh Ajax Amsterdam di 8 besar, sang kuda hitam pada musim tersebut. Lalu, pada musim ini mereka harus gugur oleh Lyon di babak 16 besar.Â
Penurunan performa itu benar adanya. Nampaknya, gugurnya Penguasa Serie A ini juga hanyalah menjadi puncak dari gunung es kegusaran manajemen Juventus manakala melihat penurunan performa setelah delapan musim sebelumnya selalu tampil cukup impresif, sehingga kekalahan Juventus atas Lyon ini hanya menjadi satu dari banyak dalih mengapa mereka memutuskan memecat Sarri dari kursi kepelatihan Juventus.
Tentunya menarik jika kita perhatikan bagaimana musim depan dengan pelatih baru mereka yang hingga detik ini masih belum diputuskan, belum lagi penandatanganan yang mungkin dapat mereka lakukan demi merombak tim juga patut kita nantikan, selain itu, apakah dengan pelatih baru mereka dapat kembali berbicara lebih banyak di kancah Eropa? Let's see.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H