Mohon tunggu...
Muhammad Irsani
Muhammad Irsani Mohon Tunggu... Abdi -

Lahir di Pangkalan Bun, Kalteng. Menulis ketika pingin.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guruku Dekil, Kurus dan Cuek

7 Juli 2013   14:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:53 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pelajaran yang paling berharga tidak selamanya datang dari ruang kelas yang full AC, buku-buku tebal nan mahal dan dari seorang yang bertitel professor atau doktor, tapi lebih banyak datang dari fenomena sehari-hari sejak pelopak mata terbuka hingga tertutup lagi, yang live di depan mata maupun di layar kaca.

Terjadi di bulan Ramadhan beberapa tahun silam dan benar-benar menjadi pembelajaran seumur hidupku.

Sudah hari ketiga aku membatalkan puasaku yang menurutku sesuai dengan yang diperkenankan oleh hukum syar'i, karena sakit. Ya, sakit kepala. Entah bagaimana asal muasalnya, sakit kepala itu datang menyerang tepat ketika jarum jam menunjukan pukul 11.00 dimana lambungku meronta-ronta meminta sesuatu untuk diisi agar dia ada kerjaan. Aku berdo'a "Allahumma bariklana fimarajaktana wakina ajabannar" bukan doa "Allahumma lakasumtu.......", dan ludeslah semangkuk supermie berpindah ke pundi-pundi lambung sehingga pompa jantung bekerja mengalirkan butiran-butiran darah menghangatkan setiap sendi-sendi tubuhku. Bibir pun menjadi ranum dan basah, mataku menjadi terang dan berbinar.

Aku sakit, namun usai "buka", aku lebih mendahulukan sebatang rokok ketimbang obat. Ya, obat adalah syarat sehingga hukum "sengaja" tidak berpuasa gugur karena sebab yang tepat. Tentu saja aku lakukan itu di kamar spesial, kamar tidur. Anak-anak pasti tidak tahu, karena begitu keluar kamar aku akan memainkan peran "orang taqwa".

Seperti biasa membuang waktu jenuh, aku suka memperhatikan mas Cokro (nama sebenarnya) menyelesaikan pesanan mebel di ruang kerja perusahaan furniture milik Yater, seorang Katolik yang toleran membatasi waktu kerja dari pukul 09.00 - 12.00 di bulan Ramadhan. Aku suka memperhatikan dan berdialog dengan Cokro karena meskipun sedang kerja dia tetap menjawab pertanyaanku dan tangannya sangat trampil, menyenangkan.

Walau sering bertemu, kali ini aku lebih tertarik mengamati fisik Cokro.  Celana pendek yang dipakainya semakin menampakan visual kurus. Lihat saja, dua batang kaki itu sangat sedikit berisi daging, relief dengkulnya sangat jelas. Dua batang tangannya pun berbanding lurus dengan kedua kaki. Tubuhnya? Ah, aku tak tega mendeskripsikan, namun dari gambaran tangan dan kaki akan sangat jelas bagaimana visual tubuh.

Sayang, ketika aku datang Cokro sudah berbenah dan akan beranjak pulang, karena jam beranjak ke pukul 12.00 siang.

"Udah mau pulang ya mas Cokro?"

"Iya pak." Cokro menjawab, cuek.

"Enak ya, habis kerja, pulang dan makan." Aku ngomong sekenanya.

Tiba-tiba Cokro menatapku tajam. Sungguh, entah kenapa aku tiba-tiba menjadi sangat takut. Mata sipit seperti mata ikan, cekung dan jelas kurang gizi itu seakan merasuk ke relung-relung tubuhku.

"Insya Allah saya puasa pak. Pekerjaan ini melancarkan darah-darahku dan membuatku nyaman berpuasa." Timpal Cokro sambil berlalu meninggalkanku, ucapannya seakan sebuah khotbah besar seorang kyai yang menasehati muridnya.

Ya Allah, siapa Cokro sebenarnya? Mengapa kata-katanya bagai seribu mutiara, pustaka kitab dan bahkan bagai sebilah pedang yang membelah kemunafikanku?

Aku tergesa-gesa pulang ke rumah, ambil air wudhu, sholat Dhuhur dan langsung kurangkai dengan sholat taubat. Duh, Ya Allah, terima kasih Engkau telah memberikan aku seorang guru, guru yang hebat. Dia tidak dekil, dia tidak kurus, dia tidak cuek. Dia bersih, jauh lebih bersih dari diriku; dia ideal dan sehat, jauh lebih ideal dan lebih sehat dari aku; dia perhatian penuh makna jauh lebih berarti dari omong gombalku yang kosong melompong.

Catatan:

Cokro telah meninggal dunia beberapa tahun silam (lupa tanggal persisnya) dalam usia kurang lebih 27 tahun. Aku bersyukur sempat mensholatkan dan menghantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya, di hari Jum'at, walaupun harus basah kuyub disiram air hujan. Semoga Allah swt menempatkannya di tempat yang terbaik, amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun