"Insya Allah saya puasa pak. Pekerjaan ini melancarkan darah-darahku dan membuatku nyaman berpuasa." Timpal Cokro sambil berlalu meninggalkanku, ucapannya seakan sebuah khotbah besar seorang kyai yang menasehati muridnya.
Ya Allah, siapa Cokro sebenarnya? Mengapa kata-katanya bagai seribu mutiara, pustaka kitab dan bahkan bagai sebilah pedang yang membelah kemunafikanku?
Aku tergesa-gesa pulang ke rumah, ambil air wudhu, sholat Dhuhur dan langsung kurangkai dengan sholat taubat. Duh, Ya Allah, terima kasih Engkau telah memberikan aku seorang guru, guru yang hebat. Dia tidak dekil, dia tidak kurus, dia tidak cuek. Dia bersih, jauh lebih bersih dari diriku; dia ideal dan sehat, jauh lebih ideal dan lebih sehat dari aku; dia perhatian penuh makna jauh lebih berarti dari omong gombalku yang kosong melompong.
Catatan:
Cokro telah meninggal dunia beberapa tahun silam (lupa tanggal persisnya) dalam usia kurang lebih 27 tahun. Aku bersyukur sempat mensholatkan dan menghantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya, di hari Jum'at, walaupun harus basah kuyub disiram air hujan. Semoga Allah swt menempatkannya di tempat yang terbaik, amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H