Kesempatan merupakan faktor kedua dalam Fraud Triangle. Kesempatan muncul ketika sistem pengawasan atau kontrol dalam suatu organisasi lemah atau tidak ada sama sekali. Ketika individu memiliki kesempatan untuk menyalahgunakan wewenang atau dana tanpa risiko besar untuk tertangkap, mereka lebih cenderung untuk melakukan tindakan korupsi. Misalnya, dalam kasus korupsi pengadaan barang atau proyek pemerintah, jika pengawasan terhadap proses tender lemah atau ada celah hukum, maka para pejabat yang terlibat dapat dengan mudah melakukan manipulasi atau penggelapan dana. Kesempatan ini sering kali muncul akibat kegagalan dalam pengawasan internal dan eksternal yang seharusnya mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Rasionalisasi adalah faktor ketiga dalam Fraud Triangle. Ini merujuk pada proses mental di mana individu membenarkan atau merasionalisasi tindakan curang yang mereka lakukan. Dalam konteks korupsi, pelaku seringkali berpikir bahwa tindakan mereka tidak sepenuhnya salah atau bahkan membenarkan perbuatan mereka dengan alasan tertentu. Mereka mungkin merasa bahwa sistem atau lingkungan di sekitar mereka sudah penuh dengan korupsi, sehingga tindakan mereka dianggap sebagai bagian dari "aturan tak tertulis". Misalnya, seorang pejabat publik yang menerima suap untuk memperlancar proses administrasi bisa merasionalisasi perbuatannya dengan alasan bahwa "semua orang juga melakukan hal yang sama" atau "sistem ini memang tidak adil".
Ketiga komponen ini---tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi---bekerja bersama-sama untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya korupsi. Misalnya, dalam kasus korupsi e-KTP di Indonesia, faktor tekanan dapat berasal dari kebutuhan politik atau kebutuhan untuk mendapatkan dana bagi partai politik. Faktor kesempatan muncul karena lemahnya sistem pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa dalam proyek tersebut, sementara faktor rasionalisasi bisa terlihat dari bagaimana pelaku membenarkan tindakan mereka dengan anggapan bahwa korupsi adalah hal yang biasa terjadi di Indonesia dan tidak bisa dihindari.
Penerapan Fraud Triangle dalam menganalisis kasus korupsi memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku koruptif dalam organisasi atau institusi. Dengan memahami ketiga elemen ini, kita dapat lebih mudah mengidentifikasi peluang untuk mengurangi korupsi melalui perbaikan sistem pengawasan, pemberian tekanan yang lebih adil dalam masyarakat, dan mengatasi budaya permisif yang merasionalisasi perbuatan korupsi. Upaya pemberantasan korupsi yang efektif membutuhkan pendekatan yang holistik dengan memperhatikan faktor-faktor psikologis, struktural, dan sistemik yang mendasarinya.
WHY : Mengapa individu merasionalisasi tindakan korup mereka, menurut Fraud Triangle?Â
Individu merasionalisasi tindakan korup mereka sebagai cara untuk mengatasi konflik moral yang muncul akibat perbuatan yang mereka lakukan. Rasionalisasi ini memungkinkan mereka untuk membenarkan tindakan yang sebenarnya tidak dapat diterima secara etis. Banyak pelaku korupsi yang beranggapan bahwa tindakannya tidak sepenuhnya salah, karena mereka merasa bahwa sistem atau lingkungan di sekitar mereka sudah penuh dengan praktik serupa. Mereka meyakini bahwa korupsi adalah bagian dari budaya yang ada, dan karena itu, mereka merasa tidak ada yang salah dengan mengikuti arus tersebut.
Selain itu, pelaku korupsi sering kali membenarkan tindakan mereka dengan alasan bahwa mereka tidak merugikan orang lain atau bahwa dampaknya tidak begitu besar. Mereka mungkin berpikir bahwa meskipun mereka mengambil keuntungan pribadi, hal itu tidak akan mempengaruhi kinerja atau keberlangsungan organisasi atau institusi secara keseluruhan. Ini memberikan mereka rasa legitimasi untuk terus melakukan perbuatan tersebut tanpa rasa bersalah.
Rasionalisasi juga terjadi karena pelaku korupsi merasa bahwa tindakan tersebut adalah satu-satunya cara untuk memenuhi tuntutan yang ada, baik itu dari atasan, rekan sejawat, atau bahkan keluarga. Mereka merasa tertekan untuk memenuhi harapan tertentu atau mencapai tujuan tertentu yang sulit dicapai tanpa bantuan dari tindakan korup. Dalam hal ini, rasionalisasi berfungsi sebagai mekanisme psikologis yang memungkinkan mereka untuk meyakinkan diri bahwa mereka tidak hanya terpaksa melakukannya, tetapi bahwa tindakan tersebut dapat dibenarkan dalam konteks tertentu.
HOW : Bagaimana sebuah organisasi dapat mengurangi korupsi dengan mengatasi elemen-elemen dari Fraud Triangle?Â
Sebuah organisasi dapat mengurangi korupsi dengan mengatasi elemen-elemen dari Fraud Triangle, yaitu tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Setiap elemen ini memiliki peran signifikan dalam mendorong individu untuk terlibat dalam tindakan korupsi. Tekanan sering muncul karena masalah pribadi, finansial, atau kebutuhan untuk memenuhi target yang tinggi dalam pekerjaan. Kesempatan muncul ketika ada celah atau kelemahan dalam sistem pengawasan dan kontrol yang memungkinkan individu menyalahgunakan wewenang mereka. Sedangkan rasionalisasi memungkinkan individu untuk membenarkan perilaku koruptif mereka dengan alasan tertentu, meskipun tindakan tersebut jelas-jelas melanggar hukum dan etika. Oleh karena itu, untuk mencegah korupsi, organisasi perlu merancang strategi yang komprehensif yang mencakup perbaikan pada ketiga elemen ini. Pendekatan ini tidak hanya melibatkan perbaikan struktural dalam organisasi tetapi juga mencakup perubahan budaya dan peningkatan sistem pengawasan yang lebih ketat.
Tekanan adalah elemen pertama dari Fraud Triangle yang dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan korupsi. Tekanan ini dapat datang dalam berbagai bentuk, baik itu masalah keuangan pribadi, beban utang, atau tuntutan tinggi dalam pekerjaan, seperti target yang tidak realistis atau tekanan untuk memenuhi ekspektasi dari atasan. Dalam beberapa kasus, individu merasa bahwa mereka perlu melakukan tindakan korup untuk memenuhi kebutuhan mendesak atau mencapai tujuan yang sangat diinginkan, seperti mendapatkan keuntungan finansial cepat. Untuk mengurangi tekanan ini, organisasi perlu menciptakan lingkungan yang lebih mendukung karyawan secara finansial maupun psikologis. Misalnya, organisasi dapat menawarkan program kesejahteraan untuk membantu karyawan yang mengalami kesulitan keuangan atau memberikan konseling bagi mereka yang merasa tertekan. Selain itu, kebijakan gaji yang adil dan penghargaan terhadap pencapaian karyawan yang realistis dapat mengurangi dorongan untuk melakukan tindakan yang tidak etis.