Mohon tunggu...
Ironi Dunia
Ironi Dunia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Indonesia

Orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Praktik Keberhasilan dan Permasalahan Desentralisasi di Indonesia

26 Oktober 2021   10:00 Diperbarui: 26 Oktober 2021   10:09 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desentralisasi merupakan istilah yang sering kita dengar ketika membahas reformasi atau otonomi daerah. Desentralisasi merupakan salah satu bentuk dari perubahan kebijakan yang terjadi pada era reformasi dalam memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengelola daerah mereka sendiri tanpa campur tangan dari pusat.

Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari Bahasa Belanda yaitu "de" yang berarti lepas dan "centerum" yang berarti pusat. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi.

Dalam sejarahnya, desentralisasi di Indonesia bermula dari Tap MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan 7 Mei 1999 dimana parlemen menetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang dianggap sentralistik. Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas kepada pemerintah kabupaten dan kota. Bupati dan Walikota bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarki di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota merupakan kepala daerah di tingkat lokal tanpa bergantung pada gubernur.

Dalam prakteknya selama hampir 20 tahun, desentralisasi di Indonesia selalu mengalami perkembangan sehingga pemerintah pusat juga mencoba menyesuaikan keadaan tersebut dengan membentuk Undang-Undang. Setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah pusat pada 2004 merevisi Undang-Undang tersebut dengan membentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 

Dalam Undang-Undang tersebut terdapat beberapa perbedaan yang salah satunya yaitu jika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali bidang politik, luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan dalam bidang lain maka pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini kewenangan daerah dibagi menjadi dua yaitu kewenangan provinsi dan kewenangan kabupaten/kota yang masing-masing terdiri dari 16 urusan wajib. Kemudian, Undang-Undang tersebut kembali direvisi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang masih berlaku sampai saat ini. 

Salah satu hal yang membedakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ini dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dimana jika dalam Undang-Undang sebelumnya urusan pemerintahan hanya dibagi menjadi dua yaitu urusan absolut dan urusan konkuren, pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 urusan pemerintahan dibagi menjadi tiga yaitu urusan absolut, urusan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.

Sistem desentralisasi yang telah dijalankan di Indonesia selama hampir 20 tahun ini tidak lepas dari permasalahan meskipun kita juga sering melihat adanya sebuah keberhasilan dalam praktik desentralisasi ini. 

Penerapan sebuah desentralisasi yang dijalankan dengan cukup baik bisa kita lihat di beberapa daerah di Indonesia. Di Banyuwangi, proses pembuatan Surat Pernyataan Miskin dan Pengurusan Akte Kelahiran kini bisa langsung diproses melalui kantor desa sehingga masyarakat tidak perlu repot-repot pergi ke kantor camat atau ke kantor dinas kependudukan dan catatan sipil dalam mengurus dua dokumen tersebut. 

Di Nusa Tenggara Barat, pemerintah provinsi setempat mengatur sistem pengelolaan perikanan melalui Perda Nomor 15 Tahun 2001 tentang Sistem Manajemen Perikanan yang dimana dengan aturan ini penanggung jawab perikanan setempat dapat merancang aturan mengenai manajemen dan praktek pengelolaan perikanan mereka sendiri berdasarkan kearifan lokal dan pengetahuan adat daerah tersebut agar dapat mencapai kesinambungan produk perikanan daerah. Sedangkan di Jawa Timur, pemerintah provinsi setempat mengalokasikan dana APBD mereka untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di daerah mereka seperti rendahnya akses pendidkan dan pelayanan kesehatan, keterbatasan peluang kerja, serta ketimpangan kemajuan antara daerah di Jawa Timur. Tiga contoh dari keberhasilan pelaksanaan desentralisasi ini hanyalah sebagian kecil dari berbagai keberhasilan desentralisasi yang ada di Indonesia.

Meskipun di beberapa daerah kita bisa melihat keberhasilan dari praktik desentralisasi tersebut, tapi masih ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa praktik desentralisasi masih mengalami beberapa kendala. Pertama, masih ditemukan adanya beberapa Peraturan Daerah yang bermasalah. Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPO) mencatat adanya 347 Peraturan Daerah yang bermasalah. Salah satu yang menjadi penyebab Perda tersebut bermasalah adalah minimnya partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan daerah. Sehingga Perda tersebut ditakutkan justru tidak berpihak kepada masyarakat setempat. Selain itu, dalam proses pembuatan Perda tersebut juga tidak lepas dari pendanaan. Apabila sebuah proses pembuatan kebijakan daerah berakhir dengan sia-sia tentu juga akan menyebabkan inefesiensi anggaran daerah tersebut.

Kedua, anggaran yang ada di daerah lebih banyak dialokasikan untuk belanja birokrasi. Ada sekitar 59% dari total anggaran daerah digunakan untuk belanja birokrasi seperti belanja pegawai serta belanja barang dan jasa. Bahkan, dana alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebagian besar juga terpakai untuk belanja pegawai. Jika hal ini terus berlanjut, anggaran yang dimiliki di daerah menjadi tidak efisien yang pada nantinya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, masifnya pemekaran wilayah. Dari tahun 1999 hingga 2009, telah terbentuk 205 Daerah Otonomi Baru (DOB) yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Bila dilihat hasil pemekaran wilayah yang terjadi dalam 10 tahun tersebut, pemerintah perlu mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit sehingga hal ini juga membebani negara terutama pada sektor anggaran tersebut.

Keempat, kurangnya pendapatan daerah akibat kewenangan pajak yang terbatas. Pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan terhadap pajak hotel, pajak restoran, pajak, hiburan, dan lain-lain. Sedangkan pajak yang strategis seperti pajak bumi dan bangunan atau pajak penghasilan masih menjadi kewenangan dari pemerintah pusat. Adanya keterbatasan ini juga membuat beberapa daerah juga memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan daerahnya.

Kelima, saling bentrok kepentingan antara pusat dan daerah. Hal ini seringkali terjadi dalam aspek pembangunan dimana kepala daerah yang memiliki program pembangunan tersendiri dan tertuang dalam RPJMD bertabrakan dengan kepentingan pusat yang tertuang dalam RPJMN. Apalagi bila dilihat dari aspek politik, hal ini terjadi akibat latar belakang partai yang berbeda antara Presiden dan Kepala Daerah setempat. Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin adanya penghambatan pembangunan yang ada di daerah tersebut.

Adanya permasalahan ini masih menunjukkan bahwa sistem desentralisasi di Indonesia masih belum dijalankan dengan optimal. Meskipun kita bisa menemukan adanya keberhasilan dari praktik desentralisasi ini, tidak bisa dipungkiri bahwa juga muncul persoalan dari praktik desentralisasi.

Agar permasalahan terkait praktik desentralisasi ini bisa diatasi, ada beberapa hal yang bisa dilakukan baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pertama, perlu adanya kejelasan yang lebih lagi mengenai wewenang yang dimiliki oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. 

Dengan hal ini bisa menghindari terjadinya tumpang tindih kewenangan. Kedua, kewenangan terhadap pemungutan pajak hendaknya lebih diserahkan kepada daerah. Hal itu perlu dilakukan agar menambah anggaran daerah dan penguatan kewenangan pajak bagi daerah. Ketiga, pemerintah daerah perlu memiliki aparatur negara yang berkompeten. 

Aparatur negara yang berkompeten akan mengakibatkan kinerja pemerintah daerah yang lebih meningkat dan efisien sehingga nantinya juga berakibat pada efisiensi anggaran daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun