Sejujurnya saya tersenyum miris membaca berita mengenai permintaan seorang pejabat daerah kepada KPK untuk memberi peringatan terlebih dahulu sebelum melakukan OTT.
Sepengetahuan saya, biasanya, “peringatan dini” dikeluarkan oleh BMKG, bukan KPK, yaitu peringatan agar masyarakat waspada menghadapi kejadian alam atau akan terjadi bencana.
Setelah membaca klarifikasi yang bersangkutan mengenai “potongan” video yang viral di jejaring sosial minggu lalu, saya tidak bisa lagi tersenyum miris, tapi berduka karena narasinya jauh lebih buruk dari yang saya bayangkan.
Tentu saja banyak hal yang menyebabkan pejabat daerah tersebut mengeluarkan pernyataan yang memprihatinkan tersebut. Jujur saja, saya tidak berminat sama sekali untuk menduga-duga alasan yang bersangkutan menyampaikan pesan yang mengejutkan tersebut.
Tetapi apapun alasannya, sebagai pejabat publik dituntut untuk mampu berkomunikasi kepada khalayak, masyarakat, kolega, bawahan dan tentu atasannya secara efektif.
Komunikasi lisan atau verbal jelas harus dipahami bukan hanya oleh penyampai pesan (komunikator) tetapi juga oleh penerima pesan (komunikan). Untuk itu diperlukan kemampuan berbahasa yang mumpuni agar pesan yang ada di benak dipahami atau efektif.
Bahasa sebagai citra pikiran dan kepribadian bermakna bahwa bahasa terbentuk dari pikiran orang secara individual. Sedangkan bahasa sebagai citra kepribadian berkaitan dengan etika berbahasa yang “dianutnya”.
Kedua hal tersebut dibangun oleh pengguna bahasa dari kelompok sosialnya dan juga sistem budaya yang berlaku dalam masyarakatnya.
Kembali kepada persoalan permintaan “peringatan dini” sebelum OTT ke KPK. Saya melihat setidaknya ada dua hal yang melahirkan pesan yang saya pandang gagal sampai kepada komunikan.
Pertama, perbedaan kerangka berpikir antara komunikator dengan khalayak terhadap pesan yang digunakan dalam berkomunikasi. Misalnya Komunikator bermaksud mengatakan “pencegahan” bukan “penindakan”.
Tetapi narasi yang dibangun justru membuat komunikan “gagal paham”. Kerangka berpikir sebenarnya merupakan konstruksi pikiran manusia yang dibangun atas dasar pengalaman, tafsir atau persepsi komunikator.
Kerangka atau pola pikir menghasilkan pilihan kata (diksi), susunan kalimat, dan unsur suprasegmental yang menyertai komunikasi verbal.
Hal lain yang mengakibatkan gagalnya pesan sampai kepada komunikan yaitu etika berbahasa.
Etika berbahasa berkaitan erat dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Selanjutnya hal itu akan membentuk struktur kognitif para individu pemakai bahasa tersebut.
Karena bahasa adalah sarana komunikasi yang bersifat simbolik, maka informasi dari komunikator ke komunikan tidak bisa dipindahkan begitu saja. Komunikan harus melakukan tafsiran terhadap simbol bahasa itu. Di posisi inilah kerap terjadi salah tafsir atau gagal memahami.
Untuk menghindari kegagalan komunikasi baik verbal maupun non-verbal, ada baiknya para pejabat meminta bantuan para staf ahli untuk menyiapkan "naskah" yang akan disampaikan.
Atau, menyampaikan “pesan” dan gagasan yang ada di benak untuk dituangkan dalam bentuk narasi kepada staf ahli dan juru bahasanya, yang mungkin lebih memahami isi hati pejabat bersangkutan , dan selanjutnya dibuatkan naskah yang baik agar para komunikan tidak gagal paham.
Maka tidak akan ada lagi “bilangnya begini, maksudnya begitu”, begitu menurut judul buku Sapardi Djoko Damono.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H