Tetapi narasi yang dibangun justru membuat komunikan “gagal paham”. Kerangka berpikir sebenarnya merupakan konstruksi pikiran manusia yang dibangun atas dasar pengalaman, tafsir atau persepsi komunikator.
Kerangka atau pola pikir menghasilkan pilihan kata (diksi), susunan kalimat, dan unsur suprasegmental yang menyertai komunikasi verbal.
Hal lain yang mengakibatkan gagalnya pesan sampai kepada komunikan yaitu etika berbahasa.
Etika berbahasa berkaitan erat dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat. Selanjutnya hal itu akan membentuk struktur kognitif para individu pemakai bahasa tersebut.
Karena bahasa adalah sarana komunikasi yang bersifat simbolik, maka informasi dari komunikator ke komunikan tidak bisa dipindahkan begitu saja. Komunikan harus melakukan tafsiran terhadap simbol bahasa itu. Di posisi inilah kerap terjadi salah tafsir atau gagal memahami.
Untuk menghindari kegagalan komunikasi baik verbal maupun non-verbal, ada baiknya para pejabat meminta bantuan para staf ahli untuk menyiapkan "naskah" yang akan disampaikan.
Atau, menyampaikan “pesan” dan gagasan yang ada di benak untuk dituangkan dalam bentuk narasi kepada staf ahli dan juru bahasanya, yang mungkin lebih memahami isi hati pejabat bersangkutan , dan selanjutnya dibuatkan naskah yang baik agar para komunikan tidak gagal paham.
Maka tidak akan ada lagi “bilangnya begini, maksudnya begitu”, begitu menurut judul buku Sapardi Djoko Damono.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H