Mohon tunggu...
Irna Herawati
Irna Herawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jalan jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ulumul Qur'an pada Ilmu Qira'ah

27 Januari 2023   21:56 Diperbarui: 27 Januari 2023   21:57 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Artikel ini di buat oleh Sri Aningsih Nasution Dan Suhardi. Mata Kuliah Desain Pembelajaran, Prodi Pendidikan Agama Islam Semester 3 Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Daar Al Ulum Asahan/Kisaran.

1. Penjelasan Ulum Al-Qur'an

      Istilah Ulum Al-Qur'an dicetuskan oleh Ibnu Marzuban (W 309 H) pada abad ke 3 Hijriyah, hal ini disampaikan oleh Subhi Sholih. Dalam pembagian nya Ulum Al-Qur'an dibagi menjadi 2 yaitu Ilmu Riwayah dan Ilmu Dirayah. 

         Ilmu Riwayah adalah ilmu-ilmu yang hanya diketahui melalui jalan riwayat, seperti bentuk-bentuk qira'at, Tempat-tempat turunnya Al-Qur'an, waktu-waktu turunnya Al-Qur'an, dan sebab-sebab turunnya Al-Qur'an. 

         Sedangkan Ilmu Dirayah adalah ilmu-ilmu yang diketahui melalui jalan perenungan, berfikir, dan penyelidikan seperti lafal yang ghorib, makna-makna yang menyangkut hukum, dan penafsiran ayat-ayat yang perlu ditafsirkan. 

 

A. Pengertian Ilmu Qira'ah

          Berdasarkan etimologi (bahasa), Qira'ah merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qiraah (membaca), jamaknya yaitu qira'at. Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology (istilah), ada beberapa definisi yang Diintrodusirkan ulama :

 

=>   Menurut Az-Zarqani, Az-Zarqani : Mendefinisikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : Mazhab yang dianut oleh seorang imam qira'at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur'an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf_huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya. 

=>   Menurut Ibn Al Jazari : Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur'an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.

=>   Menurut Al-Qasthalani : Suatu Ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau    diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I'rab, Itsbat, fashl, dan washl yang kesemuaannya diperoleh secara periwayatan.  

Ada 3 qira'at yang dapat di tangkap dari definisi di atas yaitu : 

1. Qira'at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur'an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya. 

2. Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur'an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi. 

3. Ruang lingkup perbedaan qira'at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I'rab, itsbat, fashl, dan washil. 

B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Ilmu Qira'at

       Qira'at sebenernya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira'at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu :

       Suatu ketika Umar Bin Khattab mendapatkan perbedaan dalam membaca Ayat Al-Qur'an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah SAW. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya ialah :

  "Memang begitulah Al-Qur'an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur'an ini diturunkan dalam 7 huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari 7 huruf itu", 7 menurut catatan sejarah. Timbulnya penyebaran qira'at dimulai pada masa tabi'in, yaitu pada awal abad II H, tatkala para Qori' terbesar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira'at gurunya daripada mengikuti qira'at imam-imam lainnya. Qira'at-qira'at tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke muris, sehingga sampai kepada imam qira'at baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.

C. Latar Belakang Cara Penyampaian Kaifiyah Al-Ada'

Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri. Hal itulah yang mendorong beberapa utama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :

         1. Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.

         2. Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh. 

       3. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yang artinya "dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf Zai diganti dengan huruf ra’ sehingga berubah bunyi menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).

       4. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.

       5. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah Qof ayat :  19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at sakrat al-haqq bin al-maut. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian kematian".

D. Penyebab Perbedaan Qira'at

          Sebab-sebab munculnya beberapa qira'at yang berbeda adalah :

      1. Perbedaan qiraat nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat. Misalnya Nabi pernah membaca surat As-Sajadah ayat 17, Pada kata (ة)dalam ayat ini, nabi membaca dengan “ta” ( ت ) biasa. 

       2. Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin”. Ada riwayat dari para sahabat nabi menyangkut berbagai versi qiraat yang ada atau perbedaan riwayat dari para sahabat nabi menyangkut ayat-ayat tertentu. 

      3. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an.

       4. Perbedaan syakh, harakah atau huruf. Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 222. Kata”yathurna” bisa dibaca “yathurna” dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”. jika dibaca qiraat pertama, maka berarti : “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka suci (berhenti dari haid tanpa mandi terlebih dahulu). Sedangkan qiraat kedua berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka bersuci (berhenti dari haid dan telah mandi wajib terlebih dahulu).”

E. Macam-Macam dan Syarat-Syarat Qira'at

        1. Macam-macam qira'at dari segi                    kuantitas

a. Qira'ah sab’ah (Qira'ah tujuh)

Kata sab’ah artinya adalah imam-imam qiraat yang tujuh. Mereka itu adalah : Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 120 H), Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H), Abdullah al-Yashibi (q. 118 H), Abu ‘Amar (w. 154 H), Ya’qub (w. 205 H), Hamzah (w. 188 H), Ashim ibnu Abi al-Najub al-Asadi.

b. Qiraat Asyrah (qiraat sepuluh)

Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qiraat sebagai berikut : Abu Ja’far. Nama lengkapnya Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani. Ya’qub (117 – 205 H) lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani, Khallaf bin Hisyam (w. 229 H)

c. Qiraat Arba’at Asyarh (qiraat empat belas)

Yang dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Muhammad bin Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwi al-Baghdadi (w. 202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).

2. Macam-macam qira'at dalam segi kualitas

a. Qira'at Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qiraat yang ada masuk dalam bagian ini.

b. Qira'at Masyhur, yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qiraat.

c. Qira'at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan.

d. Qira'at Syadz, (menyimpang), yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qiraat ini.

e.     Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani As-Suyuthi kemudian menambah qiraat yang keenam, yakni qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qiraat Abi Waqqash.

F. Syarat-Syarat Qira'at

         Untuk menangkal penyelewengan qiraat yang sudah muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qiraat yang dapat diterima. Untuk membedakan antara yang benar dan qiraat yang aneh (syazzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qiraat yang benar. Pertama, qiraat itu sesuai dengan bahasa arab sekalipun menurut satu jalan. Kedua, qiraat itu sesuai dengan salah satu mushaf-mushaf utsmani sekalipun secara potensial. Ketiga, bahwa sahih sanadnya baik diriwayatkan dari imam qiraat yang tujuh dan yang sepuluh maupun dari imam-imam yang diterima selain mereka. Setiap qiraat yang memenuhi kriteria di atas adalah qiraat yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Namun bila kurang dari ketiga syarat di atas disebut qiraat yang lemah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun