"Ya ampun, kok bisa meleleh gini ya?" seru Mamak Butet kaget. Ia bingung karena malam itu putri bungsunya si Butet, tiba-tiba demam cukup tinggi. Akhirnya ia bergegas ke apotek terdekat untuk membeli obat penurun panas.
Sebelumnya, si Butet memang sempat demam dan diberi resep dokter obat penurun panas berbentuk suppositoria. Namun ternyata Mamak Butet lupa menyimpan sisa obatnya yang terakhir dengan benar.
Dari ilustrasi singkat diatas, betapa kita tidak boleh meremehkan kondisi penyimpanan obat yang baik dan benar. Cara penyimpanan obat seharusnya tidak hanya menjadi concern di fasilitas distribusi atau pelayanan farmasi, tapi juga di rumah tangga.
Jika obat disimpan dalam kondisi yang tidak sesuai dengan instruksi yang tertera di kemasan, maka mutu obat bisa saja menurun, khasiatnya berkurang, atau bahkan rusak. Pastikan untuk selalu menyimpan obat dalam wadah/kemasan aslinya.
Kondisi penyimpanan yang dimaksud mencakup wadah, suhu, kelembaban, dan paparan cahaya. Faktor-faktor ini tentunya telah dikaji oleh produsen obat melalui pengujian data stabilitas obat.
Data stabilitas ini akan menjadi dasar apakah suatu obat tetap stabil pada kondisi penyimpanan dan selama kurun waktu tertentu, sehingga mutu dan khasiatnya dapat tetap terjamin saat dikonsumsi/digunakan pasien.
Berdasarkan data stabilitas itu pula, produsen obat akan mencantumkan instruksi cara penyimpanan obat pada label kemasan. Berikut beberapa contoh instruksi penyimpanan obat yang tercantum pada label kemasan.
Jenis Obat yang Harus Disimpan di Lemari Pendingin
Menurut Farmakope Indonesia, kondisi suhu penyimpanan obat dibagi menjadi 6 yaitu lemari pembeku (-25℃ s.d -10℃), dingin (2-8℃), suhu ruang dingin terkendali, sejuk (8-15℃), suhu ruang (tidak lebih dari 30℃), dan suhu ruang terkendali. Sementara menurut US FDA, suhu kulkas yang cocok untuk menyimpan bahan makanan biasanya dibawah 4℃.