Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengenal Lebih Dekat tentang Ganja Medis

11 Juli 2022   08:34 Diperbarui: 11 Juli 2022   15:53 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, Thailand kembali mengukir sejarah dalam kebijakan legalisasi ganja. Setelah melegalkan ganja untuk medis, bulan Juni 2022 lalu Thailand juga melegalkan ganja untuk kuliner. 

Warga pun heboh, karena akhirnya mereka diperbolehkan menanam ganja di rumah. Perubahan kebijakan ini diharapkan dapat mendongkrak sektor kesehatan dan wisata di Thailand.

Meski demikian, ganja untuk tujuan rekreasi (misal merokok) masih dilarang dan syarat untuk menggunakan ganja dalam produk makanan dan minuman adalah yang kadar THC-nya kurang dari 0.2%.

Jika di Thailand sedang dilanda euforia legalisasi ganja untuk tujuan pengobatan dan kuliner, di Indonesia justru sedang dilanda pro dan kontra tentang legalisasi ganja medis.

Topik ini bahkan semakin santer dibahas di kalangan masyarakat umum, praktisi kesehatan, hingga regulator terkait. Apalagi ketika media sosial ramai mengangkat isu seorang ibu yang memperjuangkan anaknya yang menderita Cerebral Palsy untuk memperoleh ganja medis. 

Beberapa waktu yang lalu juga, seorang pria yang memiliki riwayat epilepsi dihukum karena kedapatan memiliki sejumlah pot tanaman ganja di rumahnya untuk mengatasi epilepsinya.

Sekilas Tentang Ganja

Bicara tentang ganja memang tidak ada habisnya. Tanaman berbunga herba ini selalu menimbulkan perdebatan. Di beberapa negara (termasuk Indonesia) ganja termasuk dalam golongan narkotika sehingga penggunaannya dilarang keras secara hukum oleh negara. Sementara itu di beberapa negara lainnya, penggunaan ganja justru mulai dilegalkan. Entah itu sebagai pengobatan, atau ada juga yang mengizinkan untuk rekreasi.

Senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman ganja dibagi menjadi dua golongan utama yakni Cannabinoid dan Non-Cannabinoid. Senyawa Cannabinoid terdiri dari senyawa yang memiliki efek psikoaktif yakni Tetrahydrocannabinol (THC) dan senyawa aktif namun tidak memiliki efek psikoaktif seperti Cannabidiol (CBD). Selain kedua senyawa ini, masih banyak senyawa lainnya. Namun yang paling sering diteliti adalah THC dan CBD.

Senyawa-senyawa Cannabinoid ini bekerja dengan berikatan pada reseptor Cannabinoid (CB1 dan CB2) yang ada di dalam tubuh manusia. Reseptor CB1 umumnya ditemukan di otak (sistem saraf pusat), sedangkan reseptor CB2 umumnya ditemukan di organ tubuh lainnya.

Pembaca sekalian mungkin ada yang lebih mengenal tanaman ganja dengan nama latin Cannabis sativa. Tapi sebetulnya ada tiga jenis spesies ganja yang paling dikenal antara lain:

1. Cannabis sativa L.

Tanaman Cannabis sativa umumnya tumbuh di daerah beriklim tropis/hangat dan lembab seperti Asia Tenggara, Asia tengah, dan Amerika Selatan. Bentuk daunnya kecil/langsing dan berwarna hijau terang.

Secara umum, spesies ganja ini memiliki kandungan THC yang lebih tinggi dibandingkan senyawa CBD. Dengan demikian, spesies ganja ini yang paling berpotensi untuk disalahgunakan untuk tujuan rekreasi, karena dapat memberikan efek 'high' (memabukkan).

2. Cannabis indica Lam

Spesies ganja yang kedua ini, umumnya tumbuh di daerah beriklim panas dan kering seperti di negara-negara Timur Tengah yakni Afghanistan, Pakistan, Tibet, dan lainnya. Cannabis indica memiliki bentuk daun yang lebih lebar dengan warna hijau gelap.

Dari sisi kandungan senyawa Cannabinoid-nya, jenis ganja ini memiliki kandungan THC yang lebih rendah dibandingkan CBD. Oleh sebab itu, jenis ganja ini umumnya digunakan untuk pengobatan.

3. Cannabis ruderalis Janisch

Spesies ganja ini banyak tumbuh di daerah utara yang berbukit dengan iklim sejuk/dingin seperti Rusia dan Tiongkok. Jenis ganja ini umumnya tumbuh dengan liar, memiliki bentuk daun yang lebih kecil dengan warna hijau gelap.

Dibandingkan Cannabis sativa dan Cannabis indica, Cannabis ruderalis memiliki kandungan senyawa THC dan CBD yang lebih rendah.

Contoh daun dari beberapa spesies Cannabis (Gambar diolah dari medicalnewstoday.com)
Contoh daun dari beberapa spesies Cannabis (Gambar diolah dari medicalnewstoday.com)

Apa Itu Ganja Medis?

Oleh sebab predikatnya sebagai narkotika, apa yang dipahami orang tentang penggunaan ganja adalah sesuatu hal yang ilegal. Namun, ganja tidak melulu berkonotasi negatif karena nyatanya ganja memiliki senyawa kimia yang sudah diteliti memiliki efek farmakologi (pengobatan).

Belakangan, istilah Ganja Medis cukup trending di dunia kesehatan karena beberapa negara (contohnya Thailand) telah 'membuka diri' terhadap penggunaan ganja untuk keperluan pengobatan.

Namun tampaknya sebagian masyarakat masih ada yang keliru memahami tentang ganja medis dan beranggapan bahwa yang dimaksud dengan legalisasi ganja medis adalah melegalkan tanaman ganja untuk digunakan sebagai pengobatan.

Ganja medis (medical cannabis) sebetulnya merupakan produk/obat berbasis ganja (Cannabis-based medicine). Jadi, yang digunakan untuk pengobatan/medis adalah senyawa (isolat) dari tanaman ganja, bukan tanaman utuh atau bagian tanaman ganja itu sendiri.

Dan dari penjelasan sebelumnya, Cannabis dapat dikembangkan sebagai obat dengan cara mengisolasi senyawa aktif atau membuat senyawa sintetiknya yang bersifat murni (pure compound).

Beberapa jenis Cannabis-based medicine yang sudah disetujui US FDA dan/atau EMA antara lain:

1. Cannabidiol (Epidiolex)

Cannabidiol digunakan sebagai terapi adjuvant (tambahan) untuk epilepsi (kejang) yang diasosiasikan dengan tipe epilepsi langka seperti Lennox-Gestaut Syndrome dan Dravet Syndrome pada pasien berusia 2 tahun atau lebih.

2. Dronabinol (Marinol; Syndros)

Dronabinol merupakan bentuk sintetik dari Delta-9 Tetrahydrocannabinol yang digunakan sebagai terapi untuk mengatasi anoreksia pada pasien AIDS yang mengalami kekurangan berat badan dengan memberikan efek nafsu makan (appetite stimulant) dan mengatasi mual/muntah pada pasien kanker yang menerima kemoterapi.

3. Nabilone (Cesamet)

Nabilone juga merupakan bentuk sintetik Delta-9 THC yang digunakan sebagai terapi untuk mengatasi mual/muntah pada pasien kanker yang menerima kemoterapi.

Dari ketiga obat di atas, Dronabinol dan Nabilone adalah jenis yang paling berpotensi disalahgunakan karena kandungan sintetik THC-nya yang memiliki efek psikoaktif.

Dilema Ganja Medis di Indonesia

Sekadar mengingatkan kembali, hingga tulisan ini dipublikasikan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 4 tahun 2021 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, semua tanaman genus Cannabis dan semua bagian tanaman (biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman atau bagian tanaman ganja dan hasis; Tetrahydrocannbinol (dan semua isomer dan bentuk stereo kimianya); Delta-9 Tetrahydrocannabinol (dan semua bentuk stereo kimianya) masih masuk dalam Daftar Narkotika Golongan I.

Menurut UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Regulasi yang mengatur narkotika (Dokumentasi pribadi)
Regulasi yang mengatur narkotika (Dokumentasi pribadi)

Oleh sebab itu pada beberapa kasus medis terkait kejang (epilepsi) yang pernah trending belakangan dimana seseorang menanam tanaman ganja untuk tujuan pengobatan, secara hukum memang tidak sesuai.

Pada kasus medis tersebut, yang sebetulnya dibutuhkan adalah senyawa murni CBD-nya, bukan tanaman ganja yang pastinya masih mengandung senyawa THC. Dan proses ekstraksi, pemisahan, dan pemurnian senyawa CBD ini pastinya memerlukan peralatan khusus.

Jika penggunaan tanaman ganja (meskipun untuk tujuan pengobatan) dilarang, sementara obat dengan senyawa murni Cannabinoid juga belum beredar di Indonesia, apa yang harus dilakukan?

Untuk kasus medis terkait kejang, perlu diketahui bahwa senyawa isolat ganja (misal CBD) bukanlah terapi satu-satunya. Masih banyak pilihan golongan anti-epileptik lain yang dapat digunakan sesuai petunjuk dokter.

Lalu bagaimana untuk kasus-kasus kejang yang langka dimana penggunaan obat anti-epileptik yang ada sudah tidak mempan?

Nah, inilah yang menjadi PR besar bagi seluruh stakeholder. Perihal legalisasi ganja medis (medical cannabis), tentu diperlukan kajian secara komprehensif berdasarkan asas risiko dan manfaatnya untuk mencegah hal-hal yang justru berpotensi menjadi bumerang bagi masyarakat Indonesia.

Di satu sisi sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak pintu perbatasan, wilayah Indonesia sangat berpotensi menjadi area pendistribusian ilegal ganja. Tentu kita semua tahu bahwa penyalahgunaan ganja memiliki dampak buruk pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai dari kesehatan, sosial-budaya, ekonomi, dan sebagainya.

Namun disisi lain, tentu kita harus tetap terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kesehatan dan pengobatan. Mungkin sudah saatnya Indonesia mulai memperbanyak riset-riset terkait ganja medis (misal Cannabidiol). Namun tentunya riset-riset ini juga harus sangat diatur dengan tetap terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, sekaligus membatasi aksesnya untuk menghindari penyalahgunaan.

Referensi:

Medical Cannabis and Industrial Hemp Tissue Culture: Present Status and Future Potential (Dinesh Adhikary, et al - 2021)

FDA | Medical News Today | NHS | Healthline

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun