Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pertama Kali ke Pura Besakih, Dipaksa Beli Canang Sari

3 Juni 2022   07:00 Diperbarui: 3 Juni 2022   20:01 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berfoto di salah satu sudut Pura Besakih (Dokumentasi pribadi)

Setelah beberapa kali berkunjung ke Bali, akhirnya saya kesampaian juga menginjakkan kaki di Pura Agung Besakih. Yeay!

Untuk mencapai pura terbesar di Indonesia yang juga memiliki julukan The Mother Temple of Bali ini, saya dan suami harus menempuh perjalanan yang jaraknya sekitar 2 jam dengan mobil dari Seminyak, daerah tempat kami menginap.

Yah lumayan jauh sih. Tapi untungnya saat itu bertepatan dengan momen puasa umat Muslim, sehingga tidak terlalu banyak turis yang berkunjung. Jadi lalu lintas tidak terlalu macet dan foto saya pun tidak banyak yang 'bocor'. Hehe..

Kabar Bali setelah Pandemi Melandai?

Kembali mengunjungi Bali, saya tidak mengira suasananya akan sesepi itu. Padahal kasus pandemi sudah melandai dan ketentuan tes antigen / PCR pun sudah dilonggarkan, terutama bagi yang sudah menerima booster vaksin Covid-19. Kalaupun karena faktor momen puasa, turis asing pun nyatanya juga jarang terlihat.

Dan yang paling membuat saya miris adalah suasana jalan Legian yang biasanya hidup dan meriah hingga larut malam, kini hanya beberapa toko yang tampak masih buka. Itupun tak banyak pengunjung yang terlihat. Tidak terbayang seperti apa mati surinya Bali saat kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya.

Dipaksa Beli Canang Sari

Oke, kembali ke judul. Berhubung ini adalah pertama kalinya saya ke Pura Besakih yang tersohor itu, tentu ekspektasi saya adalah memperoleh pengalaman yang berkesan baik. Tapi ternyata tidak seindah itu Ferguso.

Memang saat saya dan suami sampai di area gerbang masuk pura, sedang ada konstruksi yang kabarnya untuk memperbaiki area parkir. Mau tak mau kami harus parkir agak naik ke atas. Jauh dari gerbang masuk.

Tapi baru saja saya turun dari mobil, saya langsung dihadang oleh dua orang ibu-ibu. Dari kantung plastik yang mereka bawa, saya langsung tahu bahwa mereka adalah penjual Canang Sari.

Sebagai informasi, Canang Sari merupakan perlengkapan (upakara) umat Hindu yang umumnya digunakan sebagai persembahan (banten) harian. Pembaca yang pernah mengunjungi Bali, pasti sering melihatnya diletakkan di depan rumah atau di salah satu sudut pura.

Canang Sari umumnya terbuat dari anyaman daun kelapa berbentuk segi empat yang berisi beras; porosan (terbuat dari daun sirih, kapur, dan gambir); jajan, tebu, dan pisang; Sampian uras; bunga; hingga minyak wangi. Masing-masing simbol ini tentunya memiliki makna tersendiri.

Awalnya kedua ibu tersebut menawarkan saya untuk menyewa kain penutup/sarung, tapi saya bilang bahwa saya sudah membawa kain sendiri. Tak menyerah, mereka pun meminta saya membeli Canang Sari. Dan saya pun kembali menolak karena tujuan saya ke pura hanya sebagai wisatawan saja, tidak untuk sembahyang.

Sebelumnya saya memang sudah diingatkan oleh teman yang pernah ke Besakih. Turis tidak diwajibkan untuk membawa Canang Sari jika hanya ingin berkunjung.

Canang Sari (Dokumentasi pribadi)
Canang Sari (Dokumentasi pribadi)

Kain pun sebetulnya sudah disediakan oleh pihak pengelola pura untuk dipinjamkan kepada pengunjung, dan sudah termasuk dalam tiket masuk seharga dua puluh lima ribu rupiah per orang. Jadi tidak masalah juga kalau tidak bawa kain sendiri.

Singkat kata, kedua ibu tadi mulai memaksa saya (dengan nada agak marah) untuk membeli Canang Sari, dengan dalih bahwa Canang Sari wajib untuk diletakkan di dalam pura oleh semua pengunjung, baik yang bertujuan untuk sembahyang maupun hanya sekadar berkunjung.

Namun karena saat itu jarak ke gerbang masuk pura lumayan jauh, saya tidak dapat memastikan kebenaran perkataan ibu-ibu tadi.

Akhirnya dengan rasa terpaksa bercampur kesal, saya pun menyerahkan empat puluh ribu rupiah untuk dua Canang Sari, lengkap dengan dupanya.

Dalam hati saya menghibur diri bahwa karena ini adalah pertama kalinya saya datang ke pura (tempat ibadah), tidak ada salahnya saya beramal. Bisa jadi juga, karena penjualan mereka turun drastis selama pandemi, mau tak mau mereka menggunakan jurus paksaan tersebut kepada pengunjung. Jadi daripada saya ribut-ribut, ya sudahlah saya mengalah saja.

Dan benar saja, tiket masuk yang kami beli sudah termasuk pinjaman kain penutup yang dapat kami kenakan selama berkeliling di pura dan jasa tour guide. Dan tentunya kami juga tidak perlu meletakkan Canang Sari seperti yang dikatakan ibu-ibu tadi.

Ckckck... Tidakkah mereka berpikir bahwa mereka bisa membuat turis kapok datang ke Pura Besakih?

Terobati dengan Kemegahan Pura dan Keramahan Pemandu

Nama Pura Besakih berasal dari bahasa Sansekerta 'wasuki' atau dalam bahasa Jawa kuno 'basuki', yang berarti 'selamat'.

Berada di lereng sebelah barat daya Gunung Agung, suhu udara di sekitar pura pun terasa sejuk. Kebetulan ketika kami sampai, cuaca sedang mendung dengan gerimis halus.

Kompleks Pura Besakih dibangun dan ditata berdasarkan arah mata angin, sehingga setiap bangunannya dapat mewakili keseimbangan alam dalam konsep Tri Hita Karana.

Dikutip dari laman pemerintah kabupaten Karangasem, struktur bangunan pura berdasarkan arah mata angin yaitu Pura Penataran Agung Besakih (tengah), Pura Gelap (timur), Pura Kiduling (selatan), Pura Ulun Kulkul (barat), dan Pura Batumadeg (utara).

Dengan kompleks pura yang sedemikian megah dan besar ini, saya membayangkan pasti sangatlah meriah saat diadakan upacara Ida Bhatara Turun Kabeh yang berlangsung selama 21 hari.

Selama berkeliling pura, kami ditemani oleh seorang pemandu yang tampak sudah sepuh. Entah berapa usianya. Tapi sayangnya, betapapun saya berusaha mengingat namanya, tetap saja saya lupa.

Yang jelas dalam ingatan saya, beliau sangat ramah kepada kami. Meski penjelasannya terkesan template karena mungkin beliau sudah melakukannya selama puluhan tahun, tapi dengan sabar beliau berusaha memberikan jawaban yang memuaskan atas setiap pertanyaan yang kami ajukan.

Berfoto di salah satu sudut Pura Besakih (Dokumentasi pribadi)
Berfoto di salah satu sudut Pura Besakih (Dokumentasi pribadi)

Sepanjang berkeliling pura, beliau menjelaskan tentang sejarah di setiap sudut pura, termasuk ketika kami melihat sekelompok umat Hindu yang kebetulan sedang sembahyang.

Hebatnya lagi, meski sudah sepuh, beliau pintar sekali mengambil foto. Termasuk memilih angle yang menarik. Mungkin ia juga terlatih setelah sekian lama memandu banyak pengunjung.

Hasil fotonya pun tidak blur. Tadinya saya bahkan sempat khawatir tidak akan punya foto berdua dengan suami karena tripod yang saya bawa tertinggal di mobil.

Oleh sebab keramahan beliau, meski pemberian tip kepada pemandu sifatnya sukarela, justru kami lebih rela memberi tip yang kami rasa pantas (mungkin tidak sebesar pemberian pengunjung lain) sebagai bentuk penghargaan.

Harapan kami semoga beliau tetap diberikan kesehatan dan semangat untuk memperkenalkan budaya Bali dan kemegahan Pura Besakih kepada para pengunjung yang datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun