"Ih banyak amat obatnya, mau dikemanain semua itu?"
"Oh, ini stok obat sama vitamin yang udah pada kedaluwarsa. Waktu pandemi kemarin gue kalap beli vitamin, takut keduluan orang. Tapi ternyata banyak juga yang expired date-nya cepat dan gue gak bisa minum semuanya. Jadi ya sekarang mau dibuang."
Saya ingat betul waktu awal pandemi Covid-19 di bulan Maret-April 2020 dan ketika serangan gelombang kedua di mid 2021, pernah terjadi panic buying di beberapa daerah. Komoditi vitamin immunomodulator (meningkatkan daya tahan tubuh) dan obat-obat swamedikasi untuk batuk-flu sempat sulit dicari karena banyak orang yang membeli untuk stok di rumah. Perkara nanti akan dikonsumsi semua atau tidak, urusan belakangan.
Jujur saya juga sempat tergoda untuk berlaku demikian, membeli banyak vitamin untuk stok di rumah. Mulai dari Vitamin C, Vitamin D, multivitamin, suplemen imunitas, dan lainnya. Apalagi karena pekerjaan saya dan suami yang mengharuskan kami WFO setiap hari, paling tidak saya butuh 'jaminan' untuk upaya pencegahan.
Tapi setelah saya pikir-pikir lagi, saya jadi bertanya ke diri sendiri, 'Apa iya saya sanggup dan mau meminum vitamin sebanyak itu setiap hari?'
Bukannya apa-apa, sejak saya belajar farmasi, saya lebih concern dengan penggunaan obat dan vitamin untuk diri saya sendiri. Sebisa mungkin saya tidak ingin menjadi orang yang sedikit-sedikit minum vitamin/obat, karena saya tahu organ hati dan ginjal saya akan bekerja lebih keras jika banyak zat-zat yang tidak terlalu diperlukan masuk ke dalam tubuh.
Pertanyaan selanjutnya adalah, 'Apa tidak jadi sia-sia uang yang saya keluarkan jika saya tidak menggunakan obat/vitamin yang saya beli dan berakhir kedaluwarsa?'. Obat-obat yang kedaluwarsa pastinya harus dibuang. Dan jika cara pembuangannya salah, ujung-ujungnya akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Nggak banget kan?
Akhirnya, saya mengurungkan niat untuk 'menimbun' produk obat/vitamin dan beli secukupnya saja
Lebih Aware dengan Limbah Farmasi
Pembaca sekalian pernah terpikir yang namanya limbah farmasi?Â