Dalam bahasa Mongolia, shaman disebut sebagai boo. Karena kurang tepat juga jika disebut sebagai dukun, shaman dalam masyarakat Mongolia memiliki arti yang lebih luas, yakni orang yang punya kemampuan magis dan berhubungan dengan dunia roh.
Untuk merasakan pengalaman ritual bersama shaman selama beberapa menit, penulis harus membayar biaya yang sudah disepakati sebelumnya. Sebenarnya agak aneh juga sih, si shaman mengatakan harus memberi uang seikhlasnya karena ritual tersebut bukanlah pertunjukan dan uang tersebut untuk ongon (roh) yang dipanggil. Tapi 'ikhlas' yang dimaksud justru didahului tawar menawar. Ya pokoknya begitulah.
Setelah mencapai kata sepakat, maka sang shaman akan memulai ritualnya dengan melakukan gerakan diiringi tabuhan genderang dan rapalan mantra bernada monoton nan menyihir. Dalam ritual ini, si pemohon dapat mengajukan pertanyaan kepada ongon.
Fenomena shamanisme kini telah menjadi atraksi bagi para turis - Biznetz shaman (shaman bisnis). Namun di sisi lain, sebagian orang di sana justru berpendapat bahwa Biznetz shaman telah melanggar kode etik para shaman yang membuat mereka seenaknya memanggil ongon untuk atraksi.
Â
2. Bendera Merah Putih di Garis Batas
Mungkin cerita ini terkesan sepele, tapi bagi saya cukup menyentuh. Adalah seorang pria Papua bernama Wilem Bab. Ia tinggal di kampung Digo yang letaknya di hutan rimba pada perbatasan wilayah Indonesia dan Papua Nugini.
Suatu waktu ia menerima Bendera Merah Putih dari sepasukan tentara Indonesia yang sedang patroli. Tentara Indonesia itu menyuruh Wilem untuk mengibarkan bendera itu di kampung Digo karena berada di wilayah Indonesia. Namun Wilem justru merasa kampungnya berada di wilayah Papua Nugini. Ketika warga kampungnya tahu, Wilem disuruh mengembalikan bendera tersebut. Namun tentara Indonesia tetap memaksa Wilem untuk menyimpan bendera tersebut demi keamanan mereka.
Singkat cerita, Wilem dan warga kampungya tidak tahu bahwa para pendahulu mereka memang berasal dari Papua (Indonesia) dan terkait dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia.
Ketika para aktivis OPM dipukul mundur oleh aparat Indonesia, mereka kabur ke Papua Nugini sekaligus menggerakkan pengungsian besar-besaran warga di sepanjang perbatasan. Awalnya mereka diterima oleh rakyat Papua Nugini, namun tak lama terjadi perselisihan dalam merebutkan tanah dan makanan. Warga Digo tidak punya pilihan kecuali mundur ke barat. Dan tanpa disadari, mereka kembali masuk ke wilayah Indonesia, karena memang tidak ada tanda-tanda perbatasan kedua negara.
Generasi penerus kampung Digo cuma bisa keheranan mengapa tempat tinggal mereka begitu miskin, kumuh, tidak ada sekolah, tidak ada rumah sakit. Mereka tidak pernah makan ikan karena sungai yang tercemar limbah tambang. Banyak anak dan ibu yang meninggal karena digigit ular atau diseruduk babi dan tidak mendapat pengobatan.