Cerita ini juga sangat relate dengan saya meski root cause yang diilustrasikan dalam cerita ini sedikit berbeda dengan yang saya alami.
Intinya sebelum kita menyatakan tidak suka dengan atasan kita, ada baiknya justru kita introspeksi diri lebih dulu.
Apakah kita sendiri yang terlalu asumtif, karena kita tidak tahu hal-hal seperti apa yang sudah dialami oleh atasan kita hingga kita merasa sikap atasan sangat menyebalkan, annoying, bahkan toksik. Atau memang akar permasalahannya berasal dari atasan kita.
Saya sependapat dengan penulis bahwa dalam dunia kerja, kita tidak harus suka dengan atasan kita, tapi yang penting dapat bekerja sama. Syukur-syukur bisa jadi teman juga.
Tapi kalau kita sudah introspeksi dan root cause tidak ada pada diri kita, ya tinggal keputusan kita sendiri apakah ingin tetap bertahan berada di bawah supervisi atasan kita, yakni dengan mencoba mencari sisi lain atasan yang lebih cocok dengan kita. Atau mencari atasan baru di tempat lain? It's up to you.
Bosku Gila, Sampai Hal Personalku Pun Dikomentari
Kisah ini juga sangat relate dengan saya karena pernah memiliki atasan semacam ini. Tapi bedanya, kalau di cerita tersebut digambarkan bahwa si bos berkomentar karena ulah bawahannya sendiri yang menampilkan personal branding yang tidak mewakili perusahaan, sementara saya tidak.
Kebetulan, si bos memang suka mengomentari bahkan sering terkesan mengatur kehidupan pribadi anak buahnya.
Tapi balik lagi, sebelum kita merasa terganggu dengan komentar-komentar tersebut, ada baiknya kita introspeksi diri lebih dulu.
Apakah hal-hal yang dikomentari memiliki efek merugikan terhadap performa kerja kita sebagai karyawan atau bahkan citra perusahaan.
Kalau tidak, ya tidak usah dengarkan. Ingat kita tidak dapat membuat semua orang senang terhadap kita, bukan? Kehidupan pribadi adalah milik kita, tapi kita tetap harus profesional.