Dulu ketika saya baru saja memasuki dunia perkuliahan farmasi, saya masih belum memiliki bayangan yang jelas mengenai prospek lapangan pekerjaan seorang farmasis atau apoteker. Pokoknya yang saya tahu, saya bakal jadi tukang obat. Atau jika memungkinkan, saya bisa jadi pengusaha yang punya apotek sendiri.
Tapi seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa lapangan kerja seorang apoteker itu tidak sesempit daun kelor. Nyatanya lapangan kerja untuk farmasis seluas Samudera Pasifik (oke, ini lebay sih), tergantung minat atau panggilan kita di bidang apa.
Nah, secara umum seorang apoteker dapat mengamalkan sumpah profesinya dalam bidang pelayanan, industri, maupun akademik/pendidikan.
Bidang pelayanan, misalnya, di fasilitas pelayanan kesehatan seperti apotek, klinik, dan rumah sakit, yang sering dikenal juga dengan istilah Farmasi Komunitas. Atau bisa juga sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di tingkat kementerian atau lembaga negara non-kementerian.
Selain bidang pelayanan, ada juga bidang industri atau produksi. Lingkup komoditinya bisa obat kimia (ethical), obat bahan alam (obat tradisional) dan suplemen kesehatan, kosmetik, alat kesehatan, atau pangan olahan.Â
Area apoteker dalam bidang industri ini contohnya produksi, Pengawasan Mutu (Quality Control), dan Pemastian Mutu (Quality Assurance). Atau kalau tidak berminat di area teknis, menjadi seorang sales/marketing atau seorang regulatory pun bisa.
Dan jika memiliki minat dalam bidang akademik, seorang apoteker juga dapat berkontribusi sebagai tenaga pendidik seperti guru, dosen, atau peneliti.
Nah sebagai bekal untuk terjun dalam ketiga bidang tersebut di atas, seorang mahasiswa dalam program perkuliahan profesi apoteker, akan mengikuti perkuliahan secara teori maupun program Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA).Â
Melalui PKPA, mahasiswa akan terjun langsung dalam dunia kerja. Dengan demikian, diharapkan para lulusan apoteker yang baru bisa langsung menyesuaikan diri dalam menerapkan ilmunya di lapangan.
Mengapa Mahasiswa Farmasi Harus Belajar Distribusi Obat dan Bahan Obat?
Pada umumnya, saat ini kurikulum perkuliahan profesi apoteker mencakup farmasi klinis dan komunitas (ilmu kefarmasian yang menitikberatkan pada pelayanan farmasi di apotek, puskesmas, dan rumah sakit), farmasi industri (ilmu kefarmasian yang menitikberatkan pada produksi obat), bisnis dan manajemen farmasi, juga hukum dan kode etik profesi.
Dari hasil penelusuran saya ke beberapa website universitas ternama, baik negeri maupun swasta yang memiliki program studi apoteker, saya belum melihat ilmu dasar distribusi obat masuk ke dalam kurikulum. Meskipun pada beberapa universitas, sudah ada yang mengadakan PKPA di sarana distribusi. Setidaknya hingga tulisan ini saya publikasikan (mohon koreksinya dari sejawat jika saya keliru).
Menurut saya hal ini sangat disayangkan karena selain sarana kefarmasian bukan hanya sebatas sarana pelayanan dan sarana produksi, tapi juga sarana distribusi yaitu Pedagang Besar Farmasi (PBF).
Sebagai informasi, di Indonesia PBF dibedakan menjadi 2 yaitu PBF Bahan Obat (menyalurkan bahan-bahan obat ke sarana produksi) dan PBF Obat (menyalurkan produk obat ke sarana pelayanan kefarmasian).
Jika sarana produksi obat harus menerapkan standar Good Manufacturing Practice (GMP)/Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB), maka sarana distribusi bahan obat dan obat pun harus menerapkan standar Good Distribution Practice (GDP)/Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB). Kedua standar ini telah dituangkan ke dalam pedoman yang diterbitkan oleh BPOM RI.
Saya ingat betul waktu masih kuliah apoteker, saya mempelajari prinsip dasar CPOB, sementara CDOB tidak. Saya memakluminya karena pada saat saya kuliah, Pedoman CDOB belum ada.
Nah, jadi ketika pada akhirnya saya bekerja di sarana distribusi, boleh dibilang saya harus belajar dari nol lagi. CDOB merupakan suatu hal yang baru bagi saya dan rupanya ada banyak hal yang perlu dipelajari dan dipahami dari CDOB.
Tapi saat ini, Pedoman CDOB sudah diterbitkan dan telah direvisi beberapa kali oleh regulator. Selain itu standar CDOB juga telah diwajibkan kepada seluruh sarana distribusi sebagai syarat utama bisnisnya.Â
Oleh sebab itu saya pikir sudah saatnya universitas memasukkan ilmu mengenai distribusi obat ke dalam kurikulumnya. Dengan demikian, para apoteker baru yang terjun ke sarana distribusi paling tidak sudah familiar dengan alur bisnis dan regulasi yang menyertainya.
Contoh Penyimpangan dalam Rantai Distribusi Obat dan Bahan Obat
Pernah dengar kasus obat-obat tradisonal yang dicampur dengan Bahan Kimia Obat (BKO) supaya konsumen bisa memperoleh efek yang cepat alias cespleng?
Nah, ini merupakan salah satu risiko yang bisa terjadi jika penyaluran bahan obat tidak diawasi.
Selain itu beberapa contoh lain yang mungkin terjadi sepanjang jalur distribusi obat dan bahan obat misalnya, pengadaan dan pendistribusian obat dan bahan obat tidak berasal dan disalurkan ke sarana yang yang tidak memiliki izin, obat tidak disimpan pada tempat dan suhu yang sesuai hingga menimbulkan kerusakan, jumlah obat dan bahan obat yang disalurkan ke sarana tertentu tidak wajar, hingga penjualan obat dan bahan obat palsu atau sudah kedaluwarsa.
Nah untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan ini terjadi, diperlukan suatu pedoman standar yang dapat menjamin sistem pengadaan dan penyaluran serta keamanan dan mutu bahan obat dan obat.
Apa Saja Peran Apoteker dalam Rantai Distribusi Obat dan Bahan Obat?
Jika CPOB menitikberatkan pada keamanan, mutu, dan khasiat obat yang diproduksi, maka CDOB menitikberatkan pada keamanan rantai distribusinya karena sudah melibatkan banyak pihak.Â
Tanpa CDOB, peredaran bahan obat dan obat di Indonesia bisa disalahgunakan dan tidak terkontrol bak jualan kacang goreng. Padahal bahan obat dan obat adalah komoditi yang memiliki risiko tinggi terhadap kesehatan manusia.Â
Apalagi jika masuk ke dalam golongan Narkotika, Psikotropika, Prekursor (NPP) dan Obat-Obat Tertentu (OOT). Nah, disinilah peran apoteker dibutuhkan untuk memastikan jalur distribusi bahan obat dan obat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Seorang Apoteker Penanggung Jawab di sarana distribusi harus dapat memastikan bahwa:
1. Pengadaan obat dan bahan obat berasal dari sarana yang jelas dan resmi, dengan cara mengkualifikasi vendor-vendornya.
2. Penyimpanan dan penanganan obat dan bahan obat harus dilakukan sesuai standar supaya tidak terjadi kerusakan pada fisik maupun mutunya. Terutama untuk produk-produk rantai dingin (Cold Chain Product) seperti vaksin.
3. Obat dan bahan obat harus disalurkan ke sarana yang berhak dan resmi, dengan cara mengkualifikasi pelanggannya.
4. Obat dan bahan obat yang termasuk golongan NPP dan OOT harus diawasi secara ketat supaya tidak jatuh ke pihak-pihak yang tidak berwenang. Termasuk barang-barang kembalian dan kedaluwarsa.
Tentunya ada sanksi yang bisa dikenakan kepada sarana distribusi yang tidak memenuhi ketentuan. Mulai dari peringatan, peringatan keras, rekomendasi penghentian sementara kegiatan, hingga rekomendasi pencabutan izin sarana.
Semoga dalam waktu dekat kurikulum profesi apoteker bisa improve dengan menaruh perhatian pada pentingnya pemahaman mahasiswa terhadap aspek-aspek CDOB/GDP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H