"Keinginan Mace-ku tentu saja jauh berbeda dari keinginan para ibu teman-temanku, terutama Yosi. Bukan rahasia lagi kalau mereka sangat berharap anak mereka menjadi pengantin perempuan yang beruntung, tanpa peduli betapa jelek, kurus, atau bungkuk anak mereka karena terlalu sering membawa beban di kepala. Keberuntungan itu sudah pasti datangnya, menurut mereka, yaitu dari seorang lelaki kaya dan terhormat; tanpa peduli masih muda dan suka mabuk, atau sudah tua dan beristri banyak. Kemiskinan membuat harapan tersebut bagai rapal mantra yang tak bosan diulang dengan keyakinan akan menjadi nyata suatu hari nanti." - Tanah Tabu.
Betapapun saya begitu seringnya mendengar keindahan tanah Papua di wilayah timur Indonesia, hingga saat ini saya belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di sana. Menikmati pertunjukkan musik tradisional dan melihat dari dekat budaya suku Dani di Lembah Baliem, gletser di Taman Nasional Lorentz, cantiknya Desa Wisata Sauwandarek, dan pastinya Raja Ampat yang tersohor. Semoga suatu saat saya berkesempatan menyaksikannya langsung.
Jadi untuk sementara ini, saya harus puas dengan melihat foto dan membaca saja. Dan kebetulan ada satu buku yang judul dan sampulnya menarik perhatian saya. Lumayan bikin penasaran juga meskipun saya hampir yakin isinya tidak membahas tentang keindahan pariwisata Papua. Gambar seorang anak kecil berkulit hitam manis dengan rambut dikepang tulang, membuat saya menduga buku ini menceritakan kisah seorang anak dari tanah Papua.
Blurb
Sesuai dugaan, buku ini mengisahkan kehidupan seorang anak kecil bernama Leksi yang diasuh oleh ibu (yang dipanggilnya Mace) dan neneknya (yang dipanggilnya Mabel) dalam kehidupan yang sederhana.
Tidak seperti ibu-ibu lainnya, Mace dan Mabel tidak ingin Leksi tumbuh besar hanya untuk menikah dengan pria kaya dengan harapan dapat mengeluarkannya dari garis kemiskinan. Berdasarkan pengalaman mereka dahulu, pernikahan dini hanya akan membawa kerugian bagi pihak perempuan.
Pria seakan-akan bebas melakukan apa saja, sementara wanita hanya boleh melahirkan, mengurus rumah tangga termasuk keperluan anak dan melayani suami. Pada saat itu kekerasan dalam rumah tangga juga sudah seperti sesuatu yang biasa dan lumrah untuk dialami seorang wanita. Dan sayangnya hal itu membuat wanita kesulitan untuk membela diri, apalagi memperoleh pertolongan dari pihak luar. Contohnya seperti apa yang dialami oleh ibunya Yosi.
Oleh sebab itulah Mace dan Mabel memasukkan Leksi ke sebuah sekolah untuk belajar, meskipun sebenarnya Leksi lebih suka bermain dengan Yosi yang tinggal di sebelah rumah mereka. Mace dan Mabel menanamkan pemikiran kepada Leksi bahwa satu-satunya jalan bagi seseorang untuk bebas dari kemiskinan dan penindasan adalah dengan memperoleh pendidikan.
Rekomendasi
Sebenarnya saya agak bingung ketika membaca bab pertama. Isinya penuh dengan deskripsi dari sudut pandang yang bernama 'Pum'. Namun ternyata ini adalah gaya si penulis dalam menyampaikan ceritanya yang justru membuat kisahnya jadi unik dan menarik. Ya, kisah kehidupan Leksi, Mace, Mabel dan tokoh-tokoh lainnya disampaikan melalui tiga sudut pandang yakni, Leksi dan dua ekor anjingnya.
Selain itu, buku ini juga menyajikan banyak plot twist yang membuat saya sebagai pembaca jadi penasaran dan pada akhirnya manggut-manggut mengerti. Contohnya, mengapa Leksi hanya dibesarkan oleh Mace dan Mabel, seperti apa masa lalu Mace, darimana Mabel berasal, bagaimana Mabel menjadi salah satu orang yang cukup disegani oleh orang di sekitarnya, mengapa ibu Yosi terkesan sangat jahat, dan lain sebagainya.
Meski ada banyak plot twist, penulis tetap mampu menyampaikan cerita dengan runut tanpa bahasa yang berbelit-belit, sehingga saya kira pembaca tidak bingung saat membacanya.
Selain itu walaupun penulis hanya sedikit menggunakan bahasa lokal dalam dialog antar tokohnya, saya sebagai pembaca lumayan bisa merasakan dan membayangkan situasi yang digambarkan. Pastinya juga belajar sedikit-sedikit kosakata Bahasa Papua.
Well, mengingat isu yang disampaikan lumayan berat, buku ini kurang cocok untuk dibaca oleh anak-anak meskipun isinya bercerita tentang seorang anak kecil.
Moral Cerita
Tanah Tabu sejatinya adalah sebuah cerita fiksi, namun isinya menyampaikan isu sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat Papua melalui kacamata Leksi yang polos namun kritis dan cerewet. Termasuk isu mengenai pro dan kontra pertambangan emas di Papua. Nah, ada beberapa moral yang bisa saya bagikan setelah membaca buku ini misalnya:
1. Pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan
Saya sependapat dengan Mace dan Mabel bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan dan penindasan. Kekayaan mungkin bisa berbicara namun sifatnya semu karena jika kita tidak memiliki pengetahuan untuk mengelola dan memanfaatkannya dengan baik, tetap saja tidak akan berguna.
2. Adat-istiadat patut dilestarikan namun tetap harus dinamis
Meskipun Indonesia sudah lama merdeka dan gelora emansipasi wanita yang diwariskan Ibu Kartini telah lama digaungkan, kita tidak bisa menutup mata bahwa hingga saat ini mungkin masih ada beberapa adat-istiadat suku tertentu yang merugikan atau memberatkan pihak perempuan. Saya setuju bahwa adat-istiadat setiap suku perlu dilestarikan untuk menjaga identitas bangsa Indonesia yang majemuk, namun di saat yang sama harus bersifat dinamis. Apa yang sekiranya dianggap merugikan sebaiknya tidak perlu dilanjutkan atau dimodifikasi.
3. Cermat dalam menerima perubahan dari luar untuk kemajuan
Seiring dengan perkembangan zaman, kita perlu membuka diri untuk menerima perubahan. Yah meskipun kita tetap harus mampu menyeleksi perubahan seperti apa yang bisa kita terima untuk kemajuan dan mana yang sebaiknya tidak kita ikuti. Dalam buku ini, diceritakan mengenai suku Dani pada masa awal kemerdekaan Indonesia, yang menerima kedatangan orang Belanda. Awalnya mereka mengira orang Belanda adalah hantu, sehingga seluruh kampung melarikan diri ke gunung. Namun tak disangka, orang Belanda tersebut mengenalkan beberapa teknologi sederhana kepada masyarakat kampung.
4. Menikah di usia yang matang untuk menurunkan kemungkinan KDRT
Selain itu, dalam buku ini juga lumayan banyak gambaran kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami kepada keluarganya. Memang ada banyak kemungkinan yang bisa menyebabkan terjadinya KDRT oleh seorang suami. Padahal seharusnya seorang suami menyayangi istrinya, melindungi keluarganya, dan memberi nafkah untuk anak-anaknya. Meskpiun tidak bisa kita sama ratakan, KDRT dapat diturunkan dengan sebisa mungkin mencegah terjadinya pernikahan dini. Semakin matang usia pria dan wanita saat mereka menikah, mereka akan lebih stabil dalam mengelola emosi dan mental, terutama ketika menghadapi masalah rumah tangga. Apalagi jika didukung dengan keadaan finansial yang baik untuk mendukung kemandirian dalam berkeluarga.
Jadi gimana, kira-kira jadi penasaran dengan cerita Leksi? Baca sendiri aja ah. FYI, Tanah Tabu kini sudah ada cetakan ulangnya lho.
Judul buku: Tanah Tabu
Penulis: Anindita S. Thayf
Penerbit & tahun terbit: Gramedia Pustaka Utama (2009)
Jumlah halaman: 240 halaman
Rating pribadi: 5/5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H