Terlibat dalam konflik dengan rekan kerja? Ah, biasa.
Punya konflik dengan atasan? Pasti banyak.
Kalau terjebak di antara konflik para atasan? Hmmm...
Oke, mungkin tulisan saya kali ini cocoknya untuk mereka yang bekerja di kantoran dan memiliki atasan ya. Tapi kalau pembaca sekalian ada yang sudah jadi bos, ya boleh juga lah dibaca-baca tulisan saya ini, supaya memahami apa yang kira-kira dialami oleh para rakyat jelata (baca: bawahan).
Hingga tulisan ini saya publikasikan, saya sudah bekerja sebagai pegawai kantoran selama 8 tahun. Dan selama 8 tahun itu, frekuensi saya pindah kantor bisa dihitung jari. Lumayan awet memang, padahal boleh dikatakan atasan saya sering bikin saya hipertensi, capek hati capek jantung.Â
Saya harus berusaha panjang sabar dan tidak baperan, supaya bisa betah. Ya maklumlah, sekarang ini tidak mudah memperoleh pekerjaan kan. Jadi tidak semua orang bisa dengan mudah resign setiap kali bertemu rekan atau atasan yang tidak cocok.
Meskipun saya pernah punya atasan yang "unik" seperti itu, saya bersyukur masih bisa menikmati jobdesc yang dibebankan kepada saya dan sejauh ini hubungan dengan rekan kerja juga kondusif.
Tapi meskipun hubungan kerja antara kita dengan atasan atau rekan lainnya baik, tapi kalau kebetulan atasan kita memiliki konflik dengan pimpinan lain, tentu akan menimbulkan suasana tidak nyaman bagi bawahannya.
Ditambah lagi jika atasan langsung kita mewanti-wanti supaya kita behati-hati terhadap personil tertentu karena konflik yang terjadi di antara mereka. Tentu para bawahan yang seharusnya mengikuti arahan dan ritme atasan langsungnya, jadi suka merasa tidak enak dan dilema. Apalagi jika pekerjaan kita bersinggungan dengan personil-personil di bawah para pimpinan yang sedang bersitegang. Mau berdiskusi takut dicurigai, tapi kalau diam-diam saja lebih salah lagi.
Kebetulan saya lumayan sering berada dalam situasi seperti ini. Dan rasanya betul-betul tidak nyaman. Tak jarang saya merasa menjadi messenger di antara para atasan yang sedang berkonflik, padahal ada hal-hal tertentu yang seharusnya dibicarakan langsung oleh mereka karena merekalah yang menjadi eksekutor (pengambil keputusan). Akibatnya beberapa pekerjaan saya yang membutuhkan keputusan dari mereka malah jadi terhambat karena masalah komunikasi. Kalau sudah begitu, bawahan lagi yang kena getahnya karena dianggap lambat menyelesaikan pekerjaan. Pengen garuk-garuk tembok rasanya!