Selain itu, sarana pelayanan kefarmasian seperti apotek dan toko obat juga sudah menjamur di mana-mana (terutama di kota besar) sehingga masyarakat bisa lebih memperoleh obat dengan lebih mudah.
Selain 3 alasan tadi, maraknya tren swamedikasi juga sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor internal, yakni dari pribadi masing-masing. Ada beberapa pasien yang tidak mau pergi dokter karena masalah rasa takut terhadap diagnosis dokter, biaya, waktu, dan kepraktisan, sehingga memilih untuk berswamedikasi.
Nah masalahnya, golongan obat yang diizinkan untuk dijual dalam rangka swamedikasi hanya terbatas pada obat dot hijau, biru, Suplemen Kesehatan dan Obat Tradisional saja. Tapi ada juga pasien yang merasa 'sudah tahu' dan 'sudah biasa' menggunakan obat keras tertentu untuk penyakitnya (bisa jadi karena sebelumnya pernah diresepkan oleh dokternya).
Jadi masih berkaitan dengan profit tadi dan sesuai ilmu ekonomi, supply akan selalu ada selama ada demand bukan?
Baca juga: Mengenal Penggolongan Obat Itu Penting Lho
What Should We Do?
Jujur saya sendiri sebagai Apoteker masih suka bingung kalau membahas solusi terbaik soal issue ini. Dibutuhkan pemahaman dan kerja sama dari berbagai pihak yakni regulator, pelaku usaha, dan masyarakat.
Dalam menyusun peraturan, regulator harus melakukan kajian berbasis analisis risiko, termasuk mempertimbangkan tren yang ada di masyarakat dan mendengarkan suara dari pelaku usaha.
Jangan sampai peraturan yang disusun memberatkan atau menguntungkan salah satu pihak. Bukan tidak mungkin satu pasal atau ayat justru dapat memberatkan tenaga kesehatan ketika ada suatu kasus, padahal tenaga kesehatan tersebut semata-mata menjalankan sumpahnya untuk melindungi pasien.Â
Dengan demikian tenaga kesehatan tetap merasa terlindungi dan bisa menjalankan profesinya dengan maksimal.
Dari sisi pelaku usaha, beberapa faktor penting yang sangat perlu diperhatikan supaya bisnis dapat bertahan yaitu, lokasi pendirian, variasi produk yang dijual, dan service.