Genap satu tahun sudah Indonesia berjibaku melawan pandemi Covid-19 sejak kasus pertama diumumkan awal Maret 2020.
Selama setahun belakangan, fakta bahwa kasus positif terus meningkat begitu juga dengan korban yang meninggal dunia membuat kita hidup dengan penuh kekhawatiran.
Di satu sisi kita khawatir tertular dan menularkan ke orang-orang terdekat, tapi di sisi lain kita juga tidak bisa terus menerus mengisolasi diri. Jadi untuk sementara yang bisa dilakukan adalah bertahan dengan menerapkan protokol kesehatan.
Update terakhir per tanggal 1 Maret 2021 via Covid-19, ada 1,341,314 kasus positif di Indonesia. Meski demikian, jumah pasien yang dinyatakan sembuh pun juga banyak.
Selama berbulan-bulan kita hidup dengan adaptasi Kenormalan Baru (New Normal). Serasa jungkir balik pokoknya. Mulai dari selalu pakai masker ke mana-mana dan dimanapun sehingga sulit bernafas dengan nyaman, sering-sering mencuci tangan dan pakai hand sanitizer.
Biaya hidup pun bertambah karena harus menyediakan amunisi berupa masker, hand sanitizer, disinfektan, dan multivitamin. Pada masa-masa awal pandemi, masker, hand sanitizer dan produk vitamin C sempat langka di pasaran. Kalaupun ada, harganya tinggi minta ampun.
Selain itu kita juga tidak bisa berkumpul dengan orang-orang terdekat karena harus social dan physical distancing. Bahkan melewatkan hari raya keagamaan, padahal saat-saat itulah waktunya kita berkumpul dan bersilaturahmi dengan keluarga. Sedih.
Kita juga sulit bepergian ke luar kota dan luar negeri karena masing-masing wilayah memperketat seleksi orang-orang yang masuk dan pastinya level stres meningkat karena cuti bersama terus dipotong, plus sulit berlibur karena tempat wisata banyak yang ditutup untuk mencegah kerumunan.
Masyarakat kita yang umumnya susah diatur ini, tentu merasa tidak nyaman, bosan, dan gerah dengan banyaknya batasan-batasan baru seperti ini. Saya pun merasa demikian. Tapi langkah ini mau tak mau harus dilakukan sampai obat atau vaksinnya ditemukan.
Jadi ketika ada angin segar di akhir tahun 2020, di mana vaksin Covid-19 telah ditemukan dan mulai disebar ke seluruh dunia, harapan baru pun muncul.
Proses vaksinasi mulai dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan urutan prioritas penerima vaksin. Jika semua lancar, diharapkan tahun depan seluruh rakyat Indonesia sudah menerima vaksin.
Selama program vaksinasi berjalan, saya masih sering mendapati pertanyaan dari orang lain, “Kenapa sih kita tetap harus pakai masker ke mana-mana meski sudah divaksin? Kalau gitu ya sama aja dong kayak kemarin-kemarin, gak bisa ke mana-mana.” Ini loh alasannya.
Proses Pembentukkan Antibodi Butuh Waktu
Satu kali proses vaksinasi Covid-19 membutuhkan dua kali suntikan dengan selang waktu tertentu, misal 14 hari. Pastinya ini ada alasannya.
Suntikan pertama berfungsi untuk "mengenalkan"' antigen (materi genetik) virus kepada tubuh kita, supaya tubuh dapat memberi respon berupa pembentukan antibodi untuk melawan antigen virus.
Suntikan kedua berfungsi sebagai booster agar tubuh dapat membentuk antibodi secara maksimal.
Bagaimana kita bisa tahu antibodi tersebut sudah terbentuk dalam tubuh kita?
Hal itu bisa kita ketahui dengan melakukan tes Rapid Antibodi. Apabila antibodi sudah terbentuk, tes rapid akan menunjukkan hasil reaktif paling tidak 14 hari hingga 28 hari setelah suntikan kedua. Tes ini sifatnya kualitatif, yakni hanya menujukkan ada/tidaknya antibodi.
![Hasil tes Rapid Antibodi saya reaktif setelah 2 minggu & 3 minggu setelah suntikkan vaksin kedua (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/04/pixlr-1-60404de6d541df284d54fdb2.jpg?t=o&v=770)
Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah/kadar antibodi dalam tubuh melalui media darah yang diambil dari pembuluh vena. Jadi proses pengambilan sampelnya tidak seperti tes Rapid Antibodi.
Itulah mengapa dikatakan vaksin membutuhkan waktu untuk dapat membentuk antibodi secara maksimal.
Meski demikian, tes ini belum menjadi standar internasional yang direkomendasikan oleh otoritas lembaga kesehatan terkait. Oleh sebab itu tes ini tidak diwajibkan untuk dilakukan secara mandiri setelah proses imunisasi.
Orang yang Sudah Divaksin Masih Bisa Tertular & Menularkan
Reaksi umum pertama dari orang-orang yang sering saya dengar adalah, "Loh, jadi gak guna dong tuh vaksin?"
Oleh sebab vaksin butuh waktu untuk bekerja/terbentuk maksimal seperti yang sudah disinggung di atas, memang tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang sudah divaksin (terutama setelah suntikan pertama) masih memungkinkan untuk tertular atau menularkan virus, meskipun tanpa gejala.
Jika orang yang belum menerima suntikan vaksin kedua wara-wiri tanpa menerapkan protokol kesehatan, orang tersebut kemungkinan besar masih bisa tertular atau menularkan penyakit, meski tanpa gejala.
Itulah mengapa tim vaksinator biasanya tetap akan mengingatkan orang-orang yang sudah divaksin untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dan sebisa mungkin untuk tidak bepergian jauh.
Tidak Semua Orang Bisa Divaksin
Ada orang-orang dengan kondisi tertentu yang tidak bisa divaksin atau berisiko tinggi. Misalnya, orang yang memiliki komorbid atau penyakit bawaan (penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus, asma dan Penyakit Paru Obstruktif kronis (PPOK), kanker, penyakit ginjal kronis, HIV), wanita hamil dan menyusui, lansia.
Belakangan, lansia dan wanita hamil dan menyusui diperbolehkan menerima vaksin, tapi tentunya dengan skrinning yang ketat. Begitu juga dengan orang-orang yang memiliki komorbid, namun hanya mereka dengan riwayat penyakit tertentu yang terkontrol (misal dengan minum obat) yang diperbolehkan menerima vaksin.
Oleh sebab itu, kita yang telah menerima vaksin tetap harus menjalankan protokol kesehatan untuk melindungi mereka-mereka ini, termasuk juga anak-anak.
Vaksin Bukanlah Obat
Secara umum memang vaksin digolongkan sebagai obat (produk biologi), tapi tujuan penggunaannya berbeda. Jika obat bersifat kuratif (menyembuhkan), vaksin bersifat preventif (pencegahan). Jadi mengartikan vaksin sebagai obat Covid-19 juga keliru.
Vaksin adalah salah satu cara (yang mungkin paling efektif) untuk memperkecil kemungkinan seseorang tertular suatu penyakit dan menekan penyebaran penyakit.
Menurut beberapa sumber yang saya baca, herd immunity dapat tercapai paling tidak setelah 70-80 persen populasi telah divaksin. Oleh sebab itu diperlukan kerja sama maksimal dari pemerintah dan rakyat supaya kekebalan kelompok (herd immunity) bisa segera terbentuk.
Saya belum tahu pasti berapa lama antibodi dari proses imunisasi ini akan bertahan. Apakah kita masih perlu booster dengan vaksinasi ulang atau tidak. Apalagi baru-baru ini ramai pemberitaan bahwa ada kasus infeksi dari varian baru (B117).
Bagaimana persisnya efektivitas vaksin yang sudah ada terhadap varian baru ini juga masih harus diteliti lebih lanjut. Tapi yang pasti proses vaksinasi yang sudah berjalan tetap harus diselesaikan.
Tidak menutup kemungkinan di kemudian hari Covid-19 akan menjadi penyakit menular endemik di Indonesia seperti halnya Tuberculosis (TBC).
Cherio!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI