"Lihat tuh, sepupumu udah pada mau merit semua. Kamu kapan? Kok gak pernah keliatan calonnya? Jangan mau kalah dong sama saudaramu yang lain."
"Duh jadi cewek ngapain sih sekolah lama-lama sampai S2, S3? Toh pasti ujung-ujungnya ngurusin rumah juga. Nanti cowok-cowok pada jiper loh. Mending merit dulu. Kamu gak takut gak dapet jodoh?"
"Udah lah, nunggu apa lagi? Kalau udah suka dan dia pas banget ngajak nikah, kenapa nggak? Kebanyakan pertimbangan malah gak kawin-kawin ntar. Inget, umur jalan terus loh."
Pembaca sekalian (terutama yang wanita), mungkin pernah dengar komentar semacam ini? Atau justru malah pernah berkomentar seperti ini ke orang lain? Duh, saya paling gemas kalau dengar komentar semacam ini.
Saya bukannya mendiskreditkan mereka yang memilih pernikahan sebagai tujuan hidup. Tapi hidup gak cuma soal menikah. Dan yang namanya menikah bukan soal gengsi apalagi persaingan.Â
Pokoknya jangan sampai kalah dari yang lainnya. Dan entah kenapa, hingga saat ini budaya masyarakat kita masih saja seakan menyudutkan pihak wanita kalau sudah urusan pernikahan.Â
Pokoknya yang namanya wanita itu, kalau sudah dianggap cukup umur, lebih baik segera menikah. Alasannya gak jauh-jauh dari soal umur yang terus bertambah, atau semakin tua semakin jauh dari jodoh.
Tapi terlepas dari apapun alasan seorang wanita menunda pernikahan, tetap saja yang namanya pernikahan itu perlu persiapan matang. Saya termasuk orang yang berprinsip bahwa ada dua sifat hakiki pernikahan, yakni monogami (hanya antara satu pria dan satu wanita) dan tidak bisa diceraikan (kecuali oleh maut).Â
Setelah menikah, kita tidak bisa dengan mudah berpaling ke pria atau wanita lain karena sudah bosan dengan pasangan. Kita juga tidak bisa dengan mudah minta cerai gara-gara sudah tidak ada kecocokan dengan pasangan. Macam artis-artis di TV itu lah. Kawin, cerai, kawin, cerai. Gitu aja terus sampai bumi jadi dua.
Lha situ gampang kalau ngomong. Eh, nulis maksudnya. Faktanya, banyak pernikahan di luar sana yang terancam bubar karena hadirnya orang ketiga, kesulitan ekonomi, tak kunjung memiliki keturunan, hingga KDRT. Yakin kalau mengalami permasalahan semacam ini, masih bisa dan mau bertahan dengan pasangan?