Pagi hari, 13 Januari 2021 lalu, saya agak kaget bercampur heran ketika menerima SMS di ponsel, yang menginformasikan bahwa saya terdaftar sebagai calon penerima vaksin Covid-19 tahap 1. Saya diminta melakukan registrasi ulang pada website pedulilindungi.id di hari yang sama.
Sejujurnya saya merasa agak ragu apakah SMS tersebut betulan atau cuma hoax. Jadi saya coba kroscek sana-sini dan ternyata memang betul adanya. Tenaga kesehatan termasuk kelompok penerima vaksin tahap 1 dan akan menerima blast SMS dari Kementerian Kesehatan mulai tanggal 13 Januari 2021. No KTP saya juga tedaftar setelah dikroscek ke website di atas.
Jujur saya merasa beruntung mendapat kesempatan bisa divaksinasi pada gelombang pertama. Namun sayangnya, keluarga inti saya yang lain tidak memperoleh undangan seperti saya.
Jadilah saya mendapat jadwal vaksinasi pada tanggal 15 Januari 2021 di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Dengan membawa tiket vaksin yang saya peroleh setelah registrasi ulang, saya berangkat ke rumah sakit.
Alur Pelayanan Vaksinasi Covid-19
Saya mau cerita sedikit tentang alur pelayanan vaksinasi Covid-19. Begitu sampai di faskes yang ditunjuk, petugas terlebih dahulu memverifikasi data pribadi sesuai KTP. Saya juga ditanyakan apakah saya tenaga kesehatan atau bukan.
Setelah verifikasi, petugas mengukur tekanan darah dan mewawancarai saya. Pertanyaan yang diajukan seputar riwayat penyakit, alergi, atau apakah ada komorbid (penyakit penyerta) atau tidak. Setelah wawancara, saya pun diminta menandatangani pernyataan bersedia divaksin.
Selanjutnya, saya diarahkan ke meja berikutnya untuk vaksinasi. Sebelum dokter menyuntikkan vaksin, terlebih dahulu dijelaskan tentang efek samping yang mungkin akan muncul setelah vaksinasi atau dikenal juga dengan KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), seperti ruam, mual, dan demam.Â
Dokter juga memperlihatkan label vial vaksin yang akan saya terima untuk meyakinkan si penerima bahwa yang diberikan betul-betul vaksin. Jadi saya tidak perlu khawatir yang diberikan adalah vitamin C apalagi air. Hehe..
Setelah vaksin diberikan, saya diminta menunggu selama 30-45 menit untuk observasi, apakah ada reaksi yang muncul. Selama proses observasi, saya tidak merasakan hal aneh apapun, selain rasa pegal dan agak lemas pada bagian lengan kiri karena memang saya disuntik di lengan kiri. Tapi reaksi ini normal dan akan hilang setelah beberapa saat. Hal ini terjadi karena tubuh kita bereaksi saat ada benda asing yang masuk.
Usai proses observasi, saya mendapatkan kartu vaksinasi berisi informasi data diri, tanggal vaksin, nomor bets vaksin, dan kontak yang bisa saya hubungi apabila muncul KIPI di kemudian hari. Selain itu, saya juga diminta kembali untuk vaksinasi kedua dalam 14 hari ke depan.
Saya juga mau mengingatkan bagi yang sudah menerima vaksin seperti saya, apabila setelah menerima vaksin mengalami reaksi yang tidak biasa pada tubuh, jangan lupa untuk dicatat dan dilaporkan pada tenaga kesehatan di faskes tempat kita memperoleh vaksin. Ini juga disebut sebagai pengawasan post-market (farmakovigilans) terhadap obat baru.
Sesuai informasi yang beredar, Indonesia sudah menerima vaksin dari Sinovac dan sudah mulai diberikan ke masyarakat sejak tanggal 13 Januari lalu sesuai tahapan prioritas penerima yang telah ditetapkan.
Dari trending topic yang saya perhatikan, banyak yang membandingkan bahwa vaksin dari Sinovac tidak lebih baik daripada vaksin buatan Pfizer karena efikasinya (dari uji klinik yang dilakukan di Indonesia pada 1620 relawan) 65.3%, sementara efikasi vaksin Pfizer memiliki efikasi 95% dari uji klinik terhadap 43.448 orang dan 45% orang lansia.
Tapi perlu diingat, tingkat efikasi di setiap negara pasti berbeda-beda. Tergantung respons tubuh masing-masing orang dan perilaku masyarakatnya.
Obat yang ditetapkan sebagai Emergency Used Authorization (EUA) oleh badan otorisasi setempat tetap harus memenuhi persyaratan atau standar yang sudah ditetaplan sebelum disebarluaskan ke masyarakat. Contoh, efikasi yang dipersyaratkan WHO untuk obat EUA adalah di atas 50%.
Bagi yang masih bingung, EUA adalah persetujuan penggunaan obat selama kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat untuk obat yang belum mendapat izin edar atau obat yang telah mendapatkan izin edar, tapi dengan indikasi penggunaan yang berbeda (indikasi baru) untuk kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat.
Beberapa kriteria EUA antara lain: telah ditetapkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat oleh pemerintah, mutu obat sesuai standar dan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik), belum ada alternatif pengobatan/tata laksana yang memadai, tersedia bukti ilmiah yang cukup terkait keamanan (safety) & khasiat (efficacy), serta manfaat lebih besar dari risiko.
Selain efikasi, aspek lain yang harus diutamakan adalah safety (keamanan). Efficacy dan safety dalam suatu produk obat, belum tentu berbanding lurus.
Bisa saja suatu obat efikasinya tinggi, tapi safety-nya rendah sehingga berisiko banyak menimbulkan efek samping. Ada juga yang safety nya tinggi, tapi efikasinya biasa-biasa saja. Kalau menurut saya sih justru yang paling penting harus aman dulu.
Selain soal efikasi dan safety, perlu dipertimbangkan juga teknologi pembuatan vaksin. Vaksin Sinovac menjadi yang pertama dibeli karena dibuat dengan teknologi inactivated vaccine. Artinya, vaksin dibuat dari virus yang sudah dimatikan dengan zat kimia tertentu.Â
Setelah itu sebagian atau seluruh bagian virus tersebut dimasukkan untuk merangsang tubuh menghasilkan antibodi. Nah, teknologi ini pastinya sudah dikuasai produsen lokal karena saat ini vaksin yang sudah beredar dan menggunakan teknologi yang sama misalnya vaksin Polio.
Sementara itu vaksin buatan Pfizer menggunakan teknologi mRNA yang termasuk teknologi baru. Teknologi vaksin ini menggunakan materi genetik yang direkayasa menyerupai kuman atau virus tertentu, dan ketika disuntikkan diharapkan dapat memicu pembentukkan antibodi pada manusia. Jadi vaksin ini tidak menggunakan kuman atau virus yang dilemahkan atau dimatikan.
Mungkin terkesan lebih aman, tapi vaksin mRNA harus disimpan pada suhu minus 70 derajat Celcius. Maka perlu dipertimbangkan secara matang dalam rantai distribusinya. Apakah peralatannya cukup memadai terutama jika didistribusikan ke daerah pelosok.
Jadi kalau ditanya, mana vaksin yang paling bagus? Saya akan menjawab belum ada. Di saat kondisi darurat seperti ini, khasiat dan keamanan obat baru pastilah belum diketahui secara maksimal, karena keterbatasan waktu dan subjek penelitian.
Maka tidak heran, hasil uji klinik suatu obat baru bisa berbeda di tiap negara, pada setiap kelompok umur, setiap kondisi kesehatan seseorang, pada setiap gaya hidup kelompok masyarakat. Ada banyak faktor penentu yang harus diperhatikan.
Semua tergantung pada pilihan kita
Sudah pernah dengar Herd Immunity kan? Istilah ini sebenarnya sudah ada sejak lama, tapi baru trending sejak pandemi Covid-19 melanda.
Herd Immunity atau kekebalan kelompok kira-kira bisa diartikan sebagai suatu kondisi di mana kelompok masyarakat dalam jumlah besar memiliki kekebalan terhadap infeksi kuman atau virus tertentu. Dengan adanya Herd Immunity diharapkan jumlah orang yang bisa tertular penyakit lebih sedikit. Dengan demikian suatu penyakit tidak mudah menyebar.
Herd Immunity ini bisa terjadi secara alami ketika sudah banyak orang yang kebal akibat infeksi penyakit. Tapi ini membutuhkan waktu yang lama. Nah, vaksinasi adalah salah satu cara untuk mencapai Herd Immunity dengan cepat. Itu mengapa dengan bersedia divaksin, kita berpartisipasi aktif memutus rantai penularan Covid-19 ini.
Sudah satu tahun kita terjebak dalam pembatasan sosial dan aktivitas, serta merasa waswas jika diri sendiri atau orang-orang terkasih terinfeksi Covid-19, memangnya gak bosan?
Well, mungkin bagi sebagian orang masih ada yang takut divaksin karena penelitian belum maksimal, atau bahkan memilih untuk tidak divaksin. Yah, itu sih hak masing-masing pribadi.Â
Tapi berhubung ini program pemerintah untuk kepentingan bersama, jangan sampai mereka yang menolak vaksin, menghasut orang lain untuk melakukan hal yang sama.Â
Sanksi bagi mereka yang menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah telah diatur dalam Undang-Undang No 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular.
It's all about your choice and every choice has its own risk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H