Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Menghindari Pemikiran Toxic Positivity dalam Fenomena Generasi Sandwich

6 Desember 2020   18:07 Diperbarui: 29 Juli 2022   07:43 1873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: www.istockphoto.com)

Istilah Generasi Sandwich (Sandwich Generations) sebenarnya sudah cukup lama pernah menjadi trending topic. Bahkan istilah ini pertama kali dicetuskan sejak tahun 1981 oleh Dorothy A. Miller dalam jurnalnya. Jadi sudah bukan hal yang baru sebenarnya.

Saya rasa tidak perlu lagi lah menjelaskan apa itu Generasi Sandwich ya? Bagi pembaca sekalian yang mungkin belum familiar dengan istilah ini, silakan googling dan kalian akan menemukan segudang artikel mengenai apa itu Generasi Sandwich.

Bak gayung bersambut, tidak lama setelah topik ini diangkat menjadi Topik Pilihan di Kompasiana, muncullah sekian banyak artikel dari para Kompasianer. 

Barangkali karena topik ini terasa relate ya? Apalagi saat ini generasi milenial lah yang menjadi generasi produktif dan kebanyakan dari mereka sudah berkeluarga atau dikenal juga dengan kaum Millenial Parents. Beragam pendapat maupun analisis mengenai seluk-beluk Generasi Sandwich pun dikupas tuntas.

Tapi setelah membaca beberapa artikel secara random, saya menyimpulkan bahwa banyak yang berpendapat bahwa fenomena Generasi Sandwich adalah suatu hal yang biasa. Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa menanggung hidup tiga generasi (diri sendiri, orangtua dan anak) adalah suatu kewajaran. 

Beberapa orang bahkan berpendapat dan berpikir positif, bahwa menanggung biaya hidup orangtua (meskipun sudah memiliki keluarga sendiri) adalah suatu kewajiban dan kesempatan untuk membalas budi kepada orangtua.

Hal ini tidak lepas dari pengaruh budaya ketimuran orang Indonesia di mana seorang anak haruslah mengingat pengorbanan kedua orangtuanya dalam merawat dan mendidik mereka sejak kecil. Dan salah satu caranya adalah dengan merawat dan mengurus orangtuanya di masa tua mereka.

Akan menjadi suatu hal yang kurang pantas ketika seorang anak memutuskan menitipkan orangtuanya di panti jompo. 

Ada stigma di mana orang-orang tua yang tinggal di panti jompo adalah orang-orang tua yang terbuang dan anak yang menitipkan orangtuanya ke panti jompo adalah anak yang tidak tahu balas budi.

Oleh sebab itu, ketika orangtua sudah memasuki masa pensiun atau berusia lanjut dan tidak lagi menghasilkan, seakan-akan sudah menjadi suatu kewajiban bagi si anak untuk menanggung seluruh biaya hidup orangtuanya sebagai bentuk balas budi.

Idealnya, ketika seorang anak akhirnya dewasa dan menikah, maka sang anak "terpisah" dari orangtuanya. Termasuk soal finansial. Tapi sebagian keluarga memiliki kondisi tertentu, di mana ketika orangtuanya memasuki masa pensiun dan tidak lagi menghasilkan, anak-anaknya lah yang gantian mengurus orangtuanya.

Ketika si anak masih single dan belum memiliki tanggungan lain, mungkin tidak masalah. Tapi biasanya konflik akan muncul ketika si anak juga sudah memiliki keluarga sendiri yang harus dinafkahi. Maka terjadilah fenomena Generasi Sandwich tadi. Ibarat daging ham dalam roti sandwich, si anak terjepit di antara dua generasi

Menghindari Pemikiran Toxic Positivity dengan Komunikasi Dua Arah
Well, saya sependapat bahwa sebagai seorang anak sudah sepatutnya untuk berbakti kepada orangtua. Bentuk bakti juga bermacam-macam, meski kalau dipikir-pikir mau sebanyak apapun balas budi kita, tetap saja tidak bisa "melunasi" kebaikan dan pengorbanan orangtua pada kita.

Tapi faktanya, tidak semua anak-anak yang sudah lepas dari orangtuanya (dalam hal ini karena si anak telah memiliki keluarga sendiri) memiliki kemapanan finansial sehingga sanggup menanggung biaya hidup dua keluarga (keluarganya sendiri dan keluarga orangtuanya).

Jika mengingat bagaimana luar biasanya pengorbanan orangtua dalam merawat dan mendidik kita sejak kecil, memang kurang pantas rasanya menganggap bahwa menanggung biaya hidup orangtua di masa tua mereka adalah beban. Tapi kenyataannya bagi beberapa keluarga muda yang kurang beruntung dalam hal finansial, hal tersebut memang betul-betul beban.

Jangankan menanggung hidup orangtua, buat makan keluarga tiga kali sehari saja susahnya minta ampun. Belum lagi kebutuhan anak-anak dan dana pendidikan, dana kesehatan, dan lain sebagainya. 

Dan pastinya akan terasa semakin berat ketika kebetulan orangtua memiliki "peninggalan" berupa hutang di sana-sini, sehingga mau tak mau anak-anaknya harus berpartisipasi membantu melunasi hutang-hutang orangtuanya.

Apa yang ingin saya sampaikan di sini adalah ketika menanggung biaya hidup dua keluarga dirasa cukup memberatkan, jangan menyangkalnya dengan pikiran toxic positivity yang justru bisa semakin menjerumuskan diri ke dalam lingkaran setan.

Toxic Positivity yang saya maksud di sini misalnya pemikiran-pemikiran pasrah semacam, "Yah mau gimana lagi. Memang udah takdir. Hitung-hitung nabung pahala," atau "Anggap aja balas budi biar orangtua juga senang & gak diomongin orang", atau pemikiran-pemikiran lain yang seakan-akan memaksa kita untuk menerima keadaan seperti itu sebagai sesuatu yang lumrah, dan bukannya mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Jadi menurut saya, yang perlu dilakukan adalah mengkomunikasikannya dengan pasangan dan orangtua untuk mencari penyebab dan jalan keluarnya. 

Tentu komunikasi harus dilakukan dengan pendekatan-pendekatan sedemikian rupa supaya tidak menyinggung hati orangtua maupun pasangan. 

Bagaimana solusi terbaik supaya orangtua memahami kesulitan anaknya, tapi di sisi lain si anak juga tidak berarti mengabaikan orangtuanya.

Kalau saya googling, ada beberapa contoh cara menyiasati keuangan yang bisa diterapkan oleh Generasi Sandwich. Tenang, saya tidak akan membahas cara-cara mengelola keuangan Generasi Sandwich karena saya bukan seorang pakar di bidang finansial dan saya juga tidak ingin berlagak sok tahu dengan mengajari ini-itu. 

Saya yakin setiap keluarga memiliki kondisi-kondisi tertentu yang tidak sama dengan kondisi keluarga lainnya. Namun sebaiknya semua itu dibicarakan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan masing-masing.

Ilustrasi: indianhealthyrecipes.com
Ilustrasi: indianhealthyrecipes.com
Usahakan untuk berhenti di kita
Saya setuju kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan orangtua yang tidak mempersiapkan masa pensiunnya dengan matang. Bisa jadi, dulu persiapan masa pensiun bukan jadi prioritas mereka, karena justru yang menjadi prioritas mereka saat itu adalah kita. Seluruh dana yang ada, digunakan untuk mendukung biaya hidup dan pendidikan kita. Bahkan tak jarang berhutang sana-sini bila diperlukan. 

Apakah kita tega menyalahkan orangtua di saat mereka dulu justru banting tulang memperjuangkan kesejahteraan kita? Apakah kita tega mengabaikan dan melihat orangtua kesusahan di masa tua mereka? Pastinya tidak kan. Pertanyaan selanjutnya, apakah kita mau terus-terusan menjalani kondisi finansial yang terhimpit seperti itu?

Setelah melakukan komunikasi dua arah dan tercapai kesepakatan, ada baiknya Generasi Sandwich memutus rantai tersebut hanya sampai di mereka. Contoh, jika kita sudah memahami bahwa tidak mempersiapkan dana pensiun adalah salah satu penyebab orangtua kita tidak bisa mandiri di masa tuanya, maka kita harus memutus rantai dengan mulai mempersiapkan dana pensiun. Misalnya dengan berinvestasi di bidang saham, emas, hingga properti.

Yah, situ sih gampang kalau ngomong. Apalagi kalau punya penghasilan bulanan yang rutin yang bisa disisihkan untuk dana pensiun.

Saya tahu di mana-mana kalau cuma ngomong atau ngasih saran doang memang gampang. Tapi balik lagi, kalau kita tidak mau memikirkan jalan keluar dan mulai melakukan perubahan, fenomena Generasi Sandwich tetap saja akan terus menurun ke generasi-generasi berikutnya. Mau seperti itu?

Fenomena Generasi Sandwich bisa mengubah tren prioritas kaum muda
Tekanan finansial yang dialami Generasi Sandwich sedikit banyak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan atau pergeseran prioritas kaum muda masa kini. 

Kalau dulu pernikahan termasuk dalam salah satu prioritas utama setiap orang ketika ingin melangkah ke jenjang kehidupan berikutnya, kini pernikahan dan berkeluarga bukan lagi menjadi prioritas. 

Apalagi ketika seseorang telah melihat banyak contoh di mana kehidupan berkeluarga nyatanya tidak membuat keadaan menjadi lebih baik karena adanya tekanan finansial.

Mereka jadi berpikir, untuk apa menikah dan berkeluarga kalau ujung-ujungnya harus hidup pas-pasan karena menanggung biaya hidup tiga generasi? Mereka tidak lagi peduli dengan omongan orang terutama yang menganut kultur ketimuran seperti orang Indonesia, di mana seakan-akan ada step-step tak kasat mata yang seharusnya ditempuh oleh setiap orang. Mulai dari lulus sekolah, bekerja beberapa tahun, menikah, punya anak, merawat orangtua dan seterusnya.

Saya tidak ingin menghakimi mana yang benar dan mana yang salah, tapi tentunya fenomena-fenomena semacam ini perlu kita sikapi dengan bijak.

Jangan membebani orangtua di masa pensiun mereka & orangtua jangan pula egois menuntut anak untuk balas budi
Di awal tulisan, saya sempat menyinggung bahwa idealnya, seorang anak akan "terpisah" dari orangtuanya setelah menikah dan berkeluarga. 

Oleh sebab itu ada baiknya seorang anak memiliki tekad untuk benar-benar mandiri ketika sudah menikah dan berkeluarga. Usahakan untuk meminimalkan menerima bantuan dari orangtua. Tapi masalahnya, orangtua mana pula yang tega melihat anaknya kesulitan?

Akan tetapi ketika si anak terlena karena terus menerima bantuan dari orangtuanya, tentu tidak baik untuk keduanya. Di satu sisi si anak menjadi tidak mandiri dalam hal finansial, di sisi lain orangtua tidak bisa menikmati masa tuanya karena tetap harus menyokong anak dan keluarganya. 

Ya kalau orangtuanya memiliki dana pensiun dan investasi lebih dari cukup. Kalau tidak? Apakah sebagai anak kita tega melihat orangtua kita terus bekerja di masa-masa tuanya?

Sebaliknya, sebagai orangtua ada baiknya juga harus "tega" dengan anaknya. Tega yang saya maksud adalah tidak memanjakan anaknya dalam hal finansial. Biarkan mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya dengan berusaha sendiri. Setelah benar-benar "mentok" barulah bantuan diberikan. Hal itu akan membantu anak-anak menjadi lebih tahan banting dan berkembang.

Selain itu, orangtua yang sudah memasuki masa pensiun ada baiknya untuk tidak egois dengan menuntut balas budi dari anak-anaknya. Apalagi kalau kondisi keuangan anak-anaknya tergolong biasa-biasa saja.

Adalah istilah post-power syndrome. Sebelum pensiun, orangtua bisa saja memiliki penghasilan besar setiap bulannya, mampu pergi ke berbagai daerah, memiliki banyak aktivitas dan jaringan sosial yang luas, bebas membeli apapun dan sebagainya. Namun setelah pensiun, pola hidup mereka berubah drastis terutama dalam hal penghasilan. 

Demi gengsi, orangtua tidak bijak menggunakan dana pensiunnya sehingga pada akhirnya menuntut anaknya untuk membiayai gengsinya supaya tetap eksis seperti pada saat sebelum pensiun.

Oke, jadi kesimpulannya apa? 

Jujur saya bukan termasuk orang yang menganggap bahwa fenomena Generasi Sandwich adalah suatu hal yang lumrah dan wajar dijalani, karena dalam fenomena tersebut pada dasarnya ada pihak-pihak yang merasa keberatan dan sebenarnya ada cara untuk memperbaiki keadaan serta mencegah keberlanjutan fenomena tersebut. 

Namun saya juga tidak menyalahkan mereka yang memilih untuk menjalani hidup sebagai Generasi Sandwich. Semuanya kembali pada justifikasi masing-masing, apakah mau memperbaiki keadaan dan memutus rantai Generasi Sandwich?

Cherio!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun