Banyak yang bilang, pertama kali kita belajar bukanlah saat di sekolah, melainkan di rumah. Dan siapa lagi yang berperan menjadi guru di rumah kalau bukan orangtua kita? Mereka mengajari kita saat belajar merangkak, belajar mengucap kata pertama, belajar berdiri dan berjalan, dan lain sebagainya.
Sebenarnya saya suka bingung kalau mau menulis tentang Mamak. Oh ya, 'Mamak' itu panggilan saya kepada Ibu. Tentunya dengan logat Batak lah ya, karena saya seorang Boru Batak. Biar mantap aja gitu kalau manggil. "Maaaakkkk.. Maaakkkk!"
Oke, balik lagi ke awal. Saya suka bingung sendiri kalau mau menulis tentang Mamak saking banyaknya cerita tentang beliau. Tapi berhubung sekarang masih dalam suasana Hari Guru yang jatuh tanggal 25 November kemarin, dan kebetulan juga sudah mau mendekati Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember, bolehlah kali ini saya menulis tentang Mamak-ku ya.
Mamak-ku ini, tipikal inang-inang (ibu-ibu) Batak tulen. Kalau bicara suaranya keras hingga terdengar ke ujung jalan, meskipun suasana pembicaraannya santai. Terbayang dong kalau pas lagi marah? Suara petir yang paling cetar pun kalah! Tapi biarpun suaranya menggelegar, sebenarnya hatinya lumayan mellow. Mamakku ini lumayan gampang tersentuh meskipun tidak mau diperlihatkannya secara terang-terangan.
Meski demikian, boleh dibilang selain perannya sebagai seorang ibu yang membesarkan anak-anaknya, Mamak juga seorang guru bagi saya. Ada tiga hal yang Mamak ajarkan kepada saya yang masih terus saya ingat dan jalankan hingga sekarang. Apa saja itu?
Mengenalkan saya ke dunia membaca
Sebelumnya, saya pernah menulis beberapa artikel tentang hobi saya yakni membaca buku. Dan Mamak-lah orang pertama yang berperan mengenalkan saya pada dunia buku. Serial Goosebumps karangan R.L. Stine adalah novel pertama yang Mamak belikan untuk saya. Ketika Mamak melihat saya merespon dengan baik tentang buku, Mamak pun mulai membelikan macam-macam bacaan. Mulai dari majalah Bobo, Kumpulan Cerpen Bobo, seri tokoh-tokoh dunia, dan lainnya.
Ketika saya mulai beranjak remaja, Mamak mulai membiarkan saya memilih buku bacaan yang saya suka. Tak jarang Mamak mengajak saya ke mal dan meninggalkan saya di toko buku berjam-jam untuk membaca, sementara Mamak pergi berbelanja dan window shopping ke toko-toko lain.
Dulu saat saya belum punya penghasilan sendiri karena masih sekolah, saya cuma bisa mengandalkan hasil menyisihkan uang saku untuk membeli buku. Tapi Mamak tidak pernah marah. Pokoknya kalau untuk membeli buku, Mamak pasti tidak keberatan memberikan BLT. Hahaha!
Pada akhirnya, membaca buku menjadi hobi saya dan adik saya. Semakin dewasa, bahan bacaan kami semakin beragam. Kami pun bolak-balik mengganti rak buku karena koleksi buku kami semakin banyak.
Melalui buku, Mamak mengenalkan saya pada banyak hal di luar sana dan menyadarkan saya bahwa dunia tidak sekecil lingkungan di mana kita tinggal. Semakin banyak saya membaca, semakin saya sadar bahwa ada banyak hal yang tidak kita ketahui dan pahami. Dan semakin saya tahu ada banyak hal yang belum saya ketahui di luar sana, saya semakin suka membaca.
Lambat laun saya pun mulai berpikir, bagaimana rasanya kalau punya buku yang saya tulis sendiri. Dan dari situlah saya mulai mencoba dan belajar menulis. Sampai sekarang. Dan semoga keinginan saya untuk menerbitkan buku bisa terwujud ya!
Jangan pernah berhenti belajar
Hal kedua yang saya pelajari dari Mamak adalah rajin sekolah dan jangan pernah berhenti belajar. Saya ingat betul kalau sudah urusan sekolah, Mamak tidak pernah tanggung-tanggung. Sejalan dengan ungkapan Batak yang terkenal, "Anakkonhi do hamoraon di au" yang artinya kurang lebih "Anakkulah kebanggaanku", Mamak dan Bapak selalu mengutamakan pendidikan anak-anaknya. Sesulit apapun kondisi keuangan keluarga kami saat itu, Mamak selalu menomorsatukan sekolah.
Oleh sebab itu, sedapat mungkin saya dan adik saya dilarang tidak masuk sekolah. Biar hujan dan banjir menghadang, selama operasional sekolah berjalan, kami tetap harus sekolah. Bagaimana kalau kami sakit? Pokoknya selama kami masih bisa bangun dari tempat tidur, berarti kami bisa berangkat sekolah. Keras memang, tapi itulah cara Mamak menempa kami supaya tidak manja.
Kalau kebetulan saya menemui hambatan, Mamak selalu memberi semangat. Pokoknya jangan pernah berhenti belajar. Dan saya mencontoh semangat Mamak untuk terus belajar, karena dalam belajar tidak ada kata terlambat.
Kalau saya tidak salah ingat, ketika saya masih duduk di bangku SD, Mamak yang saat itu bekerja sebagai seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta, mengambil sekolah Kebidanan supaya bisa membuka praktik di rumah. Jadi meskipun sudah memiliki anak, tidak menyurutkan semangat Mamak untuk sekolah lagi.
Jadi, semangat inilah yang saya contoh hingga sekarang. Saya selalu mengingat betapa kerasnya usaha Mamak dan Bapak dalam menyekolahkan saya dan adik saya, sehingga kami juga selalu serius saat sekolah hingga lulus pendidikan tinggi. Sampai sekarang pun, saya masih terus belajar meskipun bukan menempuh sekolah formal. Tidak menutup kemungkinan jika semesta mengizinkan, saya masih ingin menempuh pendidikan pasca sarjana.
Berbagi & membantu orang lain semampunya
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, Mamak tipikal orang yang mudah tersentuh. Karena itu, Mamak seringkali tidak bisa menahan diri ketika ada orang yang minta bantuan padanya. Saya ingat betul, beberapa pasien Mamak adalah orang kurang mampu. Mamak tidak keberatan jika biayanya dibayarkan dengan cara dicicil atau bahkan mengurangi biaya persalinan.
Dan sebagai seorang tenaga kesehatan, Mamak juga aktif menyumbangkan tenaganya dalam program pelayanan kesehatan di gereja. Targetnya adalah masyarakat sekitar yang kurang mampu (saat itu, program BPJS belum berjalan sepenuhnya). Tidak ada imbalan khusus yang didapat, namun hanya ucapan terima kasih dari para pasien dan box makan siang yang disediakan pengurus. Tapi semua itu dijalaninya dengan senang hati.
Satu hal yang terus saya ingat dan pelajari dari Mamak adalah, sedapat mungkin kita harus berbagi dan membantu orang lain yang kesusahan. Tentunya semampu kita. Mamak selalu bilang, kalau kita sering berbagi dan membantu orang lain yang kesusahan, banyak berkat yang akan kita peroleh. Well, motivasinya bukan untuk mengharapkan imbalan loh ya. Tapi bagaimana supaya kita tidak hidup egois dan mementingkan diri sendiri. Bagaimanapun kita adalah makhluk sosial yang perlu hidup berdampingan. Salah satu caranya ya berbagi dan membantu orang lain. Bentuknya juga macam-macam dan tidak harus besar. Bantuan sekecil apapun pasti bisa meringankan beban orang lain. Misal memberi sedekah, meminjamkan uang, membeli dagangan keluarga atau teman, menjadi pendengar yang baik, memberi nasihat, dan lain sebagainya. Tapi pastinya harus disesuaikan dengan kemampuan kita.
Apalagi di masa pandemi seperti ini, banyak orang yang kurang beruntung. Pekerjaannya tidak lancar, penghasilan menurun drastis, pemotongan upah kerja, hingga PHK. Meski saat ini adalah masa serba susah, sebisa mungkin kita tetap saling membantu.
Dan satu hal yang pasti, jangan pernah mengharapkan imbalan atas bantuan yang sudah kita berikan. Itulah mengapa pentingnya memberi sesuai dengan kemampuan. Jadi jangan sampai nanti muncul penyesalan setelah membantu orang lain. Perkara orang yang kita bantu itu ingat untuk membalas budi atau tidak, bukan lagi urusan kita. Sebagai contoh, kalau saya berani meminjamkan uang kepada orang lain, saya juga sudah harus siap jika uang yang saya pinjamkan itu tidak dikembalikan. Itulah mengapa kalau saya meminjamkan uang, harus sesuai kemampuan saya.
Saya berusaha selalu menerapkan prinsip seperti itu dalam kehidupan sehari-hari saya. Tidak mudah memang, karena sikap mendahulukan kepentingan pribadi adalah manusiawi. Tapi yang penting adalah bagaimana supaya kita mau rendah hati untuk melihat dari sudut pandang berbeda. Percaya tidak percaya, berkat akan selalu ada untuk orang-orang yang mau berbagi. Mungkin tidak langsung terlihat atau terasa saat itu juga. Tapi berkat itu akan datang di waktu yang tepat.
Masih banyak hal-hal yang saya pelajari dari Mamak terutama yang tidak saya dapatkan di sekolah. Namun tiga hal inilah yang selalu saya ingat hingga membentuk karakter saya yang sekarang. Dan pastinya ketiga hal ini akan saya turunkan kepada anak saya kelak, meski mungkin dengan cara yang berbeda. Maka tidak salah ada istilah Ibu adalah sekolah pertamaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H