Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hikmah di Balik Momen Terendah yang Dialami

15 Juni 2020   14:16 Diperbarui: 24 Juni 2020   02:35 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesedihan (Ilustrasi: ibcd.org)

Akhirnya segala macam cara saya lakukan untuk meningkatkan nilai saya. Mulai dari ikut kelas tambahan, ikut belajar kelompok di luar jam sekolah, les privat berkelompok, hingga mengerjakan soal latihan UN setiap malam. 

Pokoknya sudah seperti persiapan ujian masuk universitas. Dan akhirnya setelah berdarah-darah... SAYA LULUS JUGA, meskipun dengan nilai yang biasa-biasa saja.

Namun cerita tidak berhenti di situ. Nilai saya yang biasa-biasa saja itu, pada akhirnya mulai menjauhkan saya dari cita-cita saya untuk masuk Fakultas Kedokteran. 

Saya bahkan mengikuti BTA (Bimbingan Tes Alumni) untuk persiapan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dengan biaya yang lumayan mahal untuk program enam bulan, namun ternyata tidak berhasil juga. 

Pendaftaran saya ke FK alias Fakultas Kedokteran di beberapa universitas swasta juga gagal bersaing karena nilai-nilai saya yang tidak memenuhi standar.

Bahkan saya sempat mendaftar seleksi Fakultas Psikologi di salah satu universitas swasta, hingga seleksi masuk STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi negara), saking putus asanya. Dan sayangnya, tidak lolos juga.

Saya akui dengan jujur, itulah pertama kalinya saya betul-betul merasa down. Merasa terbuang. Saya bahkan merasa malu dan sering bertanya-tanya, "Apakah benar saya sebodoh itu?". 

Untuk pertama kalinya saya merasa tidak yakin akan jadi apa saya di masa depan. Saya tidak punya plan B sehingga saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan jika plan A gagal.

 Saya tahu, meskipun di luar saya berusaha tampak biasa-biasa saja, orangtua saya juga merasakan kekhawatiran yang sama. Dan hal itu semakin membuat saya merasa bodoh dan tidak berguna. 

Berulang-ulang dua kata tersebut muncul di pikiran saya. Mungkin kalau saya tidak memikirkan orangtua saya, pasti saya sudah jatuh ke lingkaran depresi.

Titik Balik
Di tengah-tengah keputusasaan saya saat itu, salah seorang sahabat Bapak yakni Alm. Drs. G.P. Sinurat, Apt. (yang belakangan baru saya ketahui bahwa dia adalah salah satu dosen di fakultas farmasi), bertanya pada saya "Mau tidak kalau masuk kuliah Farmasi?". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun